Sabtu, 22 Mei 2010

GRAMATIKA SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI

Anang Santoso
Sastra Indonesia, Fak. Sastra, Universitas Negeri Malang

Ideologi, seperti dikemukakan Dale (1986), adalah sebuah “bunglon” konseptual (Burbules, 1992:7) sehingga rentangan maknanya juga bervariasi. Dalam praksisnya ideologi memperoleh artikulasi secara sangat jelas dalam bahasa. Ideologi mendapatkan tempat artikulasi yang sangat luas dalam praksis-praksis sosial yang beraneka ragam. Ideologi akan berdampak terhadap produksi teks. Ideologi mengkonstruksikan makna bagi subjeknya. Oleh karena itu, cara yang tepat untuk memeriksa atau menguji “struktur ideologi” adalah melalui pemeriksaan terhadap “bahasa”.
Para “linguis kritis”, seperti Fowler (1985; 1986; 1996), Fairclough (1985; 1989; 1995), Kress (1985), Sykes (1985), van Dijk (1985; 2001), Birch (1996), dan Wodak (1996) amat percaya bahwa struktur-struktur linguistik dimanfaatkan, didayagunakan, difungsikan untuk mengemukakan ideologinya, secara sadar, tidak sadar, bahkan bawah sadar. Santoso (2001, 2003a, 2003b) membuktikan bahwa dalam tuturan para elite politik yang tampaknya sebagai “biasa-biasa” saja dan tampak tidak berdosa (innocent), ternyata menyembunyikan banyak aspek-aspek ideologi yang perlu diketahui oleh masyarakat.
Sebaliknya, bentuk-bentuk bahasa dapat dijelaskan melalui analisis kerja ideologi dalam masyarakat. Fairclough (1995:25) menyarankan agar hubungan bahasa dan ideologi seharusnya dikonseptualisasikan dalam kerangka penelitian wacana dan perubahan sosial budaya. Persoalan bahasa dan ideologi bukan persoalan linguistik an sich, tetapi penelitian hubungan bahasa dan ideologi akan “basah kuyup” oleh konteks situasi dan konteks budaya yang melatari dan melingkupi, bahkan mendeterminasi.
Persoalan ideologi dalam bahasa banyak mendapat perhatian pada era pasca-strukturalisme setelah timbulnya kesadaran akan hakikat bahasa sebagai social practice. Maraknya kesenjangan komunikasi dalam bidang sosial pada umumnya, membuat isu-isu ideologi langsung menjadi pusat perhatian. Wacana bukan lagi menjadi sesuatu yang netral dan vakum sosial. Wacana adalah situs perjuangan dan perebutan sosial. Persoalan-persoalan jender, autoritas, rasial, profesionalisme, ilmu, bahkan keluarga memiliki wilayah wacana tertentu dan memiliki karakteristik tertentu yang menimbulkan “ketidaksimetrisan hubungan” antarpartisipan. Wacana era pascastrukturalisme menampakkan adanya kesenjangan komunikasi di mana para partisipannya tidak memiliki akses yang sama dalam proses komunikasi, kesadaran yang relatif belum pernah ada pada era sebelumnya, atau jika ada masih tampak malu-malu untuk merumuskan bahwa yang terjadi adalah “komunikasi yang timpang”.
Isi ideologi dalam wacana bahasa diekspresikan melalui pilihan bentuk-bentuk lingual. Mengikuti pandangan Fairclough (1989), pilihan bentuk lingual itu antara lain (i) ketransitifan, (ii) kalimat aktif-pasif, (iii) kalimat positif-negatif, (iv) modus kalimat deklaratif-interogatif-imperatif, (v) modalitas relasional, (vi) pronomina persona, dan (vii) modalitas ekspresif. Aspek-aspek itu sering dinamakan dengan unsur gramatika dalam bahasa.

PILIHAN KETRANSITIFAN SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI
Teori ketransitifan ini bersumber dari fungsi representasi bahasa, yakni fungsi bahasa yang bertugas (i) menyandikan (encode) pengalaman tentang dunia, dan (2) membawa gambaran tentang realitas. Dalam pandangan Halliday (1985:101) kepemilikan fundamental bahasa memungkinkan manusia itu membangun gambaran mental realitas dan membuat makna dari pengalaman tentang apa yang terjadi di sekitar dan di dalamnya.
Teori ketransitifan dipergunakan untuk menjawab tiga persoalan pokok yang dilontarkan Fairclough (1989), yakni (i) tipe-tipe proses dan partisipan yang dominan, (ii) penampakan agen, dan (iii) penampakan proses. Dalam pandangan Fairclough (1989:120) ketika seseorang memberikan representasi secara tekstual tentang tindakan, peristiwa, keadaan, dan hubungan yang nyata atau imajinasi, sering terdapat pilihan antara tipe-tipe proses dan partisipan yang berbeda dan seleksi yang dibuat itu memiliki signifikansi ideologis tertentu. Pilihan agen-agen, misalnya sesuatu yang animate, nomina tidak bernyawa, atau nomina abstrak, akan mengimplikasikan signifikansi ideologis tertentu.
Kehadiran sebuah kalimat akan mempengaruhi kalimat lainnya. Proses dari satu tipe memunculkan proses-proses tipe lainnya yang mungkin saja disebabkan oleh alasan ideologis tertentu. Kalimat beragen tidak bernyawa, misalnya, akan memperoleh penguatan dari kalimat sebelumnya sehingga bertambah status agentifnya. Dalam banyak kasus, seseorang seharusnya menjadi peka terhadap kemungkinan pilihan agen yang dimotivasi secara ideologis itu.

PILIHAN AKTIF-PASIF SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI
Proses-proses tindakan dapat muncul dalam kalimat aktif maupun pasif. Aktif dan pasif adalah persoalan voice, yakni bagaimana cara sebuah bahasa mengekspresikan hubungan antara frasa verba dan frasa nomina, serta pelbagai hal yang diasosiasikan dengan hubungan itu (Richards, Platt, & Platt, 1992:401). Dua buah kalimat mungkin saja berbeda dalam voice-nya meskipun memiliki makna dasar yang sama. Hal itu berkaitan dengan perubahan dalam penekanan sesuai dengan pertimbangan tertentu.
Dalam praktiknya, sebuah kalimat mungkin lebih sesuai atau lebih pantas dibandingkan dengan kalimat yang lain untuk situasi tertentu. Dalam tradisi Jawa, misalnya, lebih sesuai menggunakan pasif dalam imperatif dibandingkan dengan aktif meskipun makna dasarnya sama.
Pilihan aktif-pasif ini berdampak pada kehadiran agen. Kalimat pasif yang dipilih, misalnya, sering menampilkan agen, dan sebaliknya sering meniadakan agen. Menurut Fairclough (1989:125) kalimat pasif tanpa agen membiarkan kausalitas dan kekaburan atau ketidakjelasan agen. Dalam banyak kasus, ketidakhadiran agen digunakan untuk menyembunyikan pelaku. Bentuk kalimat aktif “Pasukan berseragam menyerang PDI Promeg” memiliki signifikansi ideologis yang berbeda dengan bentuk pasif “PDI Promeg Diserang”.

PILIHAN BENTUK POSITIF-NEGATIF SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI
Pada umumnya nilai pengalaman diekspresikan dalam kalimat positif. Pada kasus tertentu, nilai pengalaman diekspresikan dalam kalimat negatif. Fairclough (1989:125) berpendapat bahwa negasi secara jelas memiliki nilai pengalaman sebagai cara dasar yang dimiliki manusia dalam membedakan apa yang bukan kasus dengan yang memang benar-benar kasus.
Bentuk negasi menjalankan tiga fungsi: (i) negatif yang sesungguhnya, (ii) negatif yang manipulatif, dan (iii) negatif yang ideologis. Bentuk negatif berfungsi ideologis ketika bentuk ekspresi “nilai pengalaman” itu berfungsi melayani kekuasaan. Pertanyaan penting yang dimunculkan adalah “apa motivasi penulis atau pembicara menggunakan asersi negatif jika ia dapat mengungkapkan persoalan yang sama dalam asersi positif”. Menurut Fairclouh (1989:126) penulis atau pembicara secara jelas menggunakan negatif sebagai cara untuk mengambil isu secara implisit yang sesuai dengan asersi positif.

PILIHAN MODUS DEKLARATIF-INTEROGATIF-IMPERATIF SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI
Modus kalimat adalah cara bagaimana kalimat itu diekspresikan kepada mitra bicara. Terdapat tiga cara, yakni (i) deklaratif, (ii) pertanyaan gramatis, dan (iii) imperatif. Tiga modus tersebut menempatkan subjek secara berbeda. Penempatan ini mengakibatkan ketidaksimetrisan sistematis. Fairclough (1989:126) berpendapat bahwa ketidaksimetrisan sistematis dalam pembagian modus antarpartisipan menjadi penunjuk dari hubungan partisipan. Bertanya, misalnya, pada umumnya berkaitan dengan “posisi kekuasaan”. Bertanya dapat menjadi “tindakan” atau “informasi”, dan dapat juga sebagai pemberi informasi. Deklaratif selain berarti pemberian informasi dapat juga berarti perintah. Bertanya selain berarti permintaan informasi juga dapat bernilai perintah.
Catatan penting dikemukakan Fairclough (1989) bahwa modus kalimat dalam penggunaan yang sebenarnya jauh lebih rumit dari yang digambarkan tersebut. Dua alasan dikemukakan, yakni (i) tidak ada hubungan satu-satu antara modus kalimat dan pemosisian subjek, dan (ii) terdapat posisi subjek yang lebih banyak dan beragam daripada yang sudah diidentifikasi selama ini. Modus deklaratif memiliki nilai permintaan untuk informasi; modus pertanyaan memiliki nilai menawarkan tindakan; modus imperatif dapat menjadi sebuah saran atau anjuran.

PILIHAN MODALITAS RELASIONAL SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI
Modalitas mengandung nilai relasional apabila modal itu digunakan terkait dengan autoritas satu partisipan dalam hubungan dengan partisipan lainnya. Dalam bahasa Indonesia, kajian yang mendalam tentang modalitas dilaksanakan oleh Alwi (1991). Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat empat golongan besar modalitas: (i) modalitas intensional, (ii) modalitas epistemik, (iii) modalitas deontik, dan (iv) modalitas dinamik.
Modalitas intensional berkaitan dengan fungsi instrumental bahasa. Bahasa digunakan untuk menyatakan sikap pembicara sehubungan dengan peristiwa nonaktual yang diungkapkannya. Bagi mitra bicara, apa yang diutarakan oleh pembicara merupakan dorongan kuat untuk mengaktualisasikan peristiwa yang bersangkutan. Modalitas intensional dapat menyatakan ‘keinginan’, ‘ajakan’, ‘pembiaran’, dan ‘permintaan’.
Modalitas epistemik merupakan penilaian penutur terhadap kemungkinan dan keperluan bahwa sesuatu itu demikian atau tidak demikian (Alwi, 1991:90). Modalitas epistemik dapat mengekspresikan ‘kemungkinan’, ‘keteramalan’, ‘keharusan’, dan ‘kepastian’.
Modalitas deontik berhubungan dengan kewajiban. Dalam modalitas ini terkandung makna bahwa penutur sebagai sumber deontik mengharuskan, mengizinkan, dan melarang terjadinya suatu peristiwa. Modalitas deontik ini mengandung makna ‘perintah’, ‘izin’, dan ‘larangan’.
Modalitas dinamik mempersoalkan sikap pembicara terhadap aktualisasi peristiwa yang ditentukan oleh keadaan yang lebih bersifat empiris. Dalam modalitas dinamik terkandung makna ‘mampu’ atau ‘sanggup’

PILIHAN PRONOMINA PERSONA SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI
Pilihan pronomina persona berkenaan dengan bagaimana pembicara menghadirkan dirinya di hadapan mitra bicaranya. Pronomina persona adalah seperangkat pronomina yang merepresentasikan kategori gramatikal dari persona. Dalam bahasa Indonesia pronomina persona merujuk pada tiga maujud: (i) persona pertama, (ii) persona kedua, dan (iii) persona ketiga.
Penggunaan pronomina persona dapat menunjukkan hubungan kekuasaan dan solidaritas. Untuk menunjukkan kekuasaannya, pembicara menggunakan kata atau bentuk kata tertentu. Penggunaan kata “Bapak” untuk menggantikan persona pertama mengandung arti bahwa orang pertama memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada mitra tuturnya itu. Untuk menunjukkan solidaritas setiap bahasa mempunyai pelbagai alat dan kata tertentu pula.

PILIHAN MODALITAS EKSPRESIF SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI
Modalitas menjadi ekspresif jika modalitas adalah persoalan autoritas penbicara atau penulis yang berkenaan dengan kebenaran atau kemungkinan representasi realitas. Ditegaskan oleh Fairclough (1989:129) bahwa modalitas bukan hanya persoalan verba bantu modal. Pilihan terhadap verba bantu tertentu akan menampilkan gambaran yang berbeda tentang realitas.
Bentuk-bentuk modalitas yang dipilih memiliki signifikansi ideologis tertentu. Fairclough memberi contoh bahwa verba are dalam Your library books are overdue merupakan titik pangkal modalitas ekspresif, yakni sebuah komitmen kategoris penutur terhadap kebenaran proposisi. Modalitas itu merupakan lawan dari ekspresi negatif Your library books are not overdue, sebuah komitmen kategoris yang sejajar terhadap kebenaran proposisi yang dinegasikan.

DAFTAR RUJUKAN
Birch, D. 1990. Language, Literature and Critical Practice. Dalam Anivan, S. (Ed.), Language Teaching Methodology for The Nineties (hlm. 157—177). Singapore: SEAMEO Regional Language Centre.
Birch, D. 1996. Critical Linguistics as Cultural Process. Dalam James, J.E. (Ed.), The Language-Culture Connection (hlm. 64—85). Singapore: SEAMEO Regional Language Centre.
Burbules, N.C. 1992. Forms of Ideology-Critique: a Pedagogical Perspective. Dalam Smith, B. (Compiled), Research Methodology 1: Issues and Methods in Research (hlm. 7—17). Reader Part 3. Geelong-Victoria: Deakin University.
Crystal, David. 1991. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. Oxford: Basil Blackwell Ltd.
Fairclough, N. 1989. Language and Power. New York: Longman Group UK Limited.
Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Harlow-Essex: Longman Group Limited.
Fowler, R. 1985. Power. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 61—82). London: Academic Press.
Fowler, R. 1986. Linguistic Criticism. Oxford: Oxford University Press.
Fowler, R. 1991. Language in The News: Discourse and Ideology in the Press. London & New York: Routledge.
Fowler, R. 1996. On Critical Linguistics. Dalam Caldas-Coulthard, C.R. & Coulthard, M. (Eds.), Texts and Practices: Reading in Critical Discourse Analysis (hlm. 3—14). London: Routledge.
Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotic. London: Edward Arnold.
Halliday, M.A.K. 1985/1994. An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold Publishers Ltd.
Hodge, R. & Kress, G. 1993. Language as Ideology. Second Edition. London & New York: Routledge.
Kress, G. 1985. Ideological Structures in Discourse. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 27—42). London: Academic Press.
Lee, D. 1992. Competing Discourses: Perspective and Ideology in Language. London & New York: Longman.
Mills, S. 1997. Discourse. London & New York: Routledge.
Santoso, A. 2000. Paradigma Kritis dalam Kajian Kebahasaan. Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 28(2): hlm. 127—146.
Santoso, A. 2002. Pendayagunaan Kata dalam Wacana Politik Era Pasca-Orde Baru. Forum Penelitian: Jurnal Teori dan Praktik Penelitian, 14(1): hlm. 26—46.
Santoso, A. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra (WWS).
Santoso, A. 2005. Pendayagunaan Ketransitifan dalam Wacana Politik Era Pasca-Orde Baru: Perspektif Kritis. Forum Penelitian: Jurnal Teori dan Praktik Pendidikan, 17(2): hlm. 167—186.
Santoso, A. 2007. Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya. Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 35(1): hlm. 1—15.
Santoso, A. 2007. Beberapa Catatan tentang Bahasa Perempuan: Perspektif Wacana Kritis. Diksi: Jurnal Ilmiah Bahasa, Sastra, dan Pengajaran-nya, 14(2): hlm. 111—121.
Sykes, M. 1985. Discrimination in Discourse. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 83—101). London: Academic Press.
Thornborrow, J. 2002. Power Talk: Language and Interaction in Institutional Discourse. London & New York: Longman.
van Dijk, T. 1985. Introduction: The Role of Discourse Analysis in Society. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 1—8). London: Academic Press.
van Dijk, T. 2001. Principles of Critical Discourse Analysis. Dalam Wetherell, M., Taylor, S., & Yates, S.J. (Eds.), Discourse Theory and Practice: A Reader (hlm. 300—317). London: SAGE Publications Ltd.
Wodak, R. 1996. Disorders of Discourse. London & New York: Longman.

1 komentar:

  1. Bapak, blog yang sangat menarik! Akan saya kabarkan blog ini ke mahasiswa & rekan2 yang tertarik dengan AWK. Salut!

    Salam takzim,

    ganjar hwia
    Pusat Bahasa, Kemdiknas

    BalasHapus