Anang Santoso
Fakultas Sastra UM
(1)
Tulisan ini mencoba mengkritisi penggunaan bahasa, khususnya matafora, oleh elite politik pada era pasca-Orde Baru. Pada era ini metaforabersama dengan piranti linguistik lainnyabegitu intensif digunakan oleh para elite untuk kepentingan politiknya. Metafora itu digunakan untuk menyembunyikan ideologi tertentu yang ingin diperjuangkan oleh elite politik. Penggunaan metafora dapat mempengaruhi persepsi masyarakat tentang dunia. Dengan penuh kesadaran, elite politik membawa masyarakat ke dalam cara pandang tertentu. Sebaliknya, secara bawah sadar masyarakat mengikuti cara pandang yang dinaturalisasikan oleh para elite politik itu. Bahkan, masyarakat begitu saja menerima cara pandang elite politik itu sebagai sebuah kebenaran tanpa pernah mengkritisi cara pandang itu.
(2)
Apakah metafora itu? Metafora adalah ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari lambang yang dipakai karena makna yang dimaksud terdapat pada predikasi ungkapan kebahasaan itu (Wahab, 1990:142). Metafora juga mengandung makna tentang pemahaman dan pengalaman atas sejenis hal yang dimaksudkan dengan perihal yang lain. Hal ini senada dengan pendapat Richards, Platt, & Platt (1992:139) bahwa dalam metafora sesuatu yang dideskripsikan diganti dengan uraian lain yang dapat dibandingkan. Pandangan yang sama juga ditemukan pada Beard (2000:19) bahwa metafora “refer to when a word or a phrase is used which establish a comparison between one idea and another”.
Metafora sering didayagunakan dalam bahasa politik. Metafora sering digunakan mengkonkretkan konsep yang abstrak, untuk mengaburkan maksud, dan untuk menguatkan pesan ideologi. Pada era pasca-Orde Baru metafora banyak digunakan oleh elite politik. Meskipun metafora hanyalah salah satu aspek wacana politik, tetapi memahami metafora adalah langkah awal memahami bahasa politik secara keseluruhan. Seorang elite politik era pasca-Orde Baru pernah mendayagunakan metafora seperti (1) berikut.
(1) “Pemerintahan Soeharto adalah rezim bercakar tajam”.
Pada (1) terdapat frasa “rezim bercakar tajam” untuk membandingkan sebuah era pemerintahan di Indonesia dengan binatang buas, karnivora, atau binatang yang diidentikkan dengan harimau atau singa. Dengan membaca atau mendengar metafora tersebut orang dapat mengidentifikasikan bagaimanakah karakter pemerintahan di Indonesia semasa dipimpin oleh mantan Presiden Soeharto. Tentu saja frasa “rezim bercakar tajam” mengandung makna ‘menakutkan’, ‘menggunakan kekuatan fisik’, ‘kasar’, dan sifat negatif lainnya.
(3)
Apakah politik itu? Ada baiknya kita mengingat pernyataan George Orwell bahwa “in our age there is no keeping out of politics, all issues are political issues” (Jones & Wareing, 1999:32). Pandangan Orwell menunjukkan bahwa ranah politik itu begitu luas. Politik itu berkenaan dengan kekuasaan, yakni kekuasaan untuk membuat keputusan, mengendalikan sumberdaya, mengendalikan perilaku orang lain, dan sering juga mengendalikan nilai-nilai yang dianut orang lain. Bahkan, keputusan-keputusan biasa yang dibuat dalam kehidupan sehari-hari pun bisa dipandang dari sudut politik.
Politik dapat mencakup banyak jenis kegiatan, mulai dari (1) proses pembuatan kebijakan nasional (politik pemerintahan), (2) kesetaraan gender (politik seksual), (3) persaingan dalam kelompok yang erat jalinannya, seperti persaingan antarrekan sekantor dalam memperebutkan jabatan, yang biasanya dilakukan dengan membocorkan atau menyimpan rahasia (politik kantor), (4) cara orang menegosiasikan peran yang harus mereka jalankan dalam kehidupan pribadi mereka (termasuk juga masalah gender), (5) sejarah dari sistem politik, (6) kegiatan-kegiatan yang terkait dengan transportasi, permukiman dan konsumsi yang bisa mempengaruhi lingkungan (politik lingkungan). Jika menilik luasnya jangkauan politik tersebut, kita sebenarnya tidak dapat terlepas dari masalah politik.
Pertanyaan selanjutnya, apakah bahasa politik itu? Bahasa politik adalah bahasa yang digunakan oleh elite politik dalam memperjuangkan kepentingan politik tertentu. Bahasa politik memperoleh tempat yang strategis karena pelbagai kepentingan elite diperjuangkan melalui bahasa yang dikemas dalam cara tertentu. Sesuatu yang sebenarnya hanya bersifat kepentingan individu dikemas menjadi sesuatu yang tampaknya menjadi kepentingan banyak orang. Sesuatu yang sebenarnya hanya kepentingan kelompok dikemas menjadi sesuatu yang tampaknya menjadi kepentingan nasional.
Terkait dengan bagaimana kita menggunakan bahasa politik, ada baiknya kita mengikuti saran Orwell (dalam Jones & Wareing, 1999:39) seperti berikut.
a. Jangan menggunanakan metafor atau perumpamaan atau gaya bahasa lain yang sudah biasa Anda lihat di media cetak;
b. Jangan menggunakan kata yang panjang kalau kata yang pendek sudah mampu mengemukakan maksud yang sama;
c. Kalau ada kata yang tidak perlu digunakan, buang kata itu;
d. Jangan menggunakan bentuk pasif kalau bisa menggunakan bentuk aktif;
e. Jangan menggunakan istilah asing, istilah ilmiah atau jargon kalau ada padanan kata dalam kosakata sehari-hari yang maknanya sama; dan
f. Semua aturan di atas lebih baik dilanggar daripada harus mengatakan hal-hal yang buruk.
Saran Orwell itu ditujukan kepada para elite politik, bahkan pelaku komunikasi yang secara umum agar komunikasi yang tercipta dapat menjadi jelas, jujur, dan mudah dipahami. Apabila para elite politik mengikui saran Orwell di atas tentu komunikasi yang tercipta akan ideal.
Ternyata, fakta menunjukkan bahwa komunikasi yang ada jauh dari ideal. Banyak orang yang skeptis dengan penggunaan bahasa dalam politik. Bahkan, menurut Orwell bahasa politik adalah “pembelaan terhadap sesuatu yang tidak pantas dibela”. Mungkin saja, pandangan Orwell itu terlalu ekstrem, terlalu negatif. Tentu saja, kita paham bahwa tidak semua elite politik berbahasa seperti itu. Masih ada elite politik yang bahasanya jelas, jujur, dan mudah dipahami. Mungkin sikap yang moderat adalah selalu memasang sikap kritis terhadap bahasa yang digunakan oleh elite politik. Apa yang terhadir di depan kita harus selalu kita sikapi secara kritis. Jangan langsung percaya begitu saja dengan bahasa elite politik itu. Mungkin saja, para elite politik menyembunyikan ideologinya melalui bahasa yang digunakan. Untuk kepentingan kritis, kita dapat menggunakan pisau analisis wacana kritis dari Roger Fowler (1989) dan Norman Fairclough (1995).
(4)
Dalam dunia politik, analisis terhadap metafora merupakan langkah awal memahami bahasa politik. Metafora disematkan ke dalam cara bagaimana kita mengkonstruksikan dunia di sekitar kita, dan cara dunia dikonstruksikan oleh orang lain kepada kita. Gibbs mengemukakan tiga catatan penting berkaitan dengan metafora politik (Beard, 2000:22). Pertama, metafora bukan hanya sebagai alat retoris semata-mata, tetapi menunjukkan bagaimana masyarakat memahami politik. Kedua, kunci metafora politik melibatkan konsep-konsep “musuh” dan “lawan”, melibatkan konsep-konsep “pemenang” dan “pecundang”. Ketiga, metafora tidak memberikan saran bahwa sebuah pemerintahan dapat dicapai melalui diskusi, kerjasama, dan bekerja bersama-sama. Dalam pandangan Beard (2000:21) sumber metafora secara umum berkaitan dengan “olahraga” dan “perang”, yang keduanya melibatkan pertandingan fisik dalam pelbagai cara.
Elite politik Indonesia pasca-Orde Baru pernah menggunakan metafora terkait dengan “olahraga” seperti contoh (2) berikut.
(2) Banyak partai politik di Indonesia yang mencuri start kampanye.
Frasa “mencuri start” dalam kalimat (2) diambil dari dunia olahraga atletik atau renang. Dalam olahraga, frasa itu digunakan apabila ada seorang pelari yang mendahului start sebelum aba-aba mulai dibunyikan. Apabila ada yang “mencuri start” maka etlet itu dianggap curang dan tidak sah. Maka, langkah selanjutnya adalah mengulangi lagi start tersebut. Dalam dunia politik, penggunaan frasa “mencuri start” mengandung makna ‘sarkasme’. Metafora politik yang diambil dari dunia olahraga juga mengandung pengertian bahwa ada “pemenang” dan ada “pecundang”.
Elite politik Indonesia juga ada yang mendayagunakan metafora dari dunia “peperangan”, seperti contoh (3) dan (4) berikut.
(3) Golongan Karya adalah partai yang sering melakukan serangan fajar.
(4) Menurut saya apa yang dilakukan oleh partai-partai yang melakukan komunike adalah hanya merupakan manuver politik saja, bahkan itu bisa jadi merupakan bentuk ketidakpercayaan diri partai tersebut dengan kekuatan mereka serta khawatir dengan kekuatan Golkar.
Frasa “serangan fajar” pada kalimat (3) berarti menyerang musuh secara lebih awal, sebelum musuh terbangun dari tidur lelapnya. Konsep “musuh” juga dibawa ke dalam ranah politik. Dalam dunia politik, frasa itu digunakan dalam pengertian memberikan bantuan terhadap calon pemilih agar memilih partai atau orang yang dipilih dan dilakukan pada pagi hari sebelum hari-H pemilihan itu dilakukan. Dengan demikian, penggunaan “serangan fajar” dalam wacana politik membawa makna ‘kekerasan’, ‘mendahului musuh’, dan ‘sarkasme’. Frasa “manuver politik” pada kalimat (4) mengandung makna bahwa apa yang dilakukan oleh partai yang dimaksud diibaratkan dengan kapal atau pesawat perang. Secara etimologis, kata “manuver” merupakan istilah untuk aktivitas kapal atau pesawat dalam peperangan atau latihan perang yang membentuk formasi gerakan tertentu. Dalam “manuver” secara umum terkandung makna ‘sulit dilakukan’, mengandung keberanian’, dan ‘terdapat efek bahaya’. Perhatikan juga contoh (5) berikut.
(5) Kemudian, pengebirian proses demokratisasi atas pembangunan ekonomi justru menjadi bumerang. Hari ini ekonomi kita sangat terpuruk, utang luar negeri kita menumpuk, serta masyarakat dan politisi tak terberdayakan.
Kata “pengebirian” pada kalimat (5) diambil dari dunia binatang. Binatang yang dikebiri adalah binatang yang dihilangkan kejantanannya. Dengan demikian, jika digunakan dalam wacana politik, “pengebirian” mengandung makna ‘menghilangkan sendi-sendi yang amat pokok atau fundamental” dalam perdemokrasian. Kata “pengebirian” mengandung makna ‘sarkasme’ karena membandingkan persoalan-persoalan kemanusiaan dengan kebinatangan. Tentu kita dapat memilih kosakata lain yang lebih humanis.
Demikian juga kata “bumerang” diambil dari dunia peperangan atau persenjataan. Bumerang adalah jenis senjata yang dimiliki suku Aborigin di Australia yang memiliki kekhasan dapat kembali kepada pemiliknya setelah senjata itu digunakan untuk kepentingan tertentu. Jika kata itu digunakan dalam wacana politik, kata “bumerang” juga bernuansa sarkasme.
(5)
Dari paparan di atas, diperoleh pemahaman bahwa bahasa begitu intensif digunakan dalam wacana politik oleh para elite politik. Bahasa yang digunakannya itu dapat mempengaruhi cara pandang kita terhadap dunia. Bahasa itu membawa kepada perspektif tertentu. Bahasa politik itu telah membawa masyarakat ke dalam posisi tertentu. Masyarakat sering tidak sadar berada di posisi itu dan menganggapnya sebagai sebuah kewajaran dan memang harus begitu. Bahkan, masyarakat secara gelap mata ikut mati-matian membela cara pandang itu tanpa mengetahui plus dan minusnya pandangan itu. Dalam kondisi ini masyarakat tidak menjadi kritis lagi. Kita harus sadar bahwa bahasa politik ada di sekeliling kita setiap hari, dan kita sendiri juga menggunakannya. Karena sifatnya yang selalu ideology soaked, bahasa yang digunakan oleh para elite politik—termasuk di dalamnya metafora—perlu dikritisi, selalu ditanyakan pada diri sendiri “apa yang ingin diperjuangkan oleh elite politik itu”. Terima kasih!
DAFTAR RUJUKAN
Beard, Adrian. 2000. The Language of Politics. London: Routledge.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Harlow-Essex: Longman Group Limited.
Fowler, Roger. 1989. Language and Power. Harlow-Essex: Longman Group Limited.
Jones, Jason & Wareing, Shân. 1999. Language and Politics. Dalam Thomas, Linda & Wareing, Shân (Eds.), Language, Society, and Power (pg. 31—46). London: Routledge.
Richards, J.C., Platt, J., & Platt, H. 1992. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics. Second Edition. Harlow-Essex: Longman Group UK Limited.
Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca-Orde Baru. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra.
Wahab, Abdul. 1990. Butir-Butir Linguistik. Surabaya: Airlangga University Press.
(Dr. Anang Santoso adalah dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang (UM). Makalah dipresentasikan dalam Seminar Internasional dengan tema “Developing Critical Thinking in a Democratic Society”, yang dilaksanakan oleh Universitas Negeri Malang, tanggal 19 Agustus 2004.)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar