Dalam dunia politik, komunikasi yang dihasilkan adalah komunikasi yang "tidak ideal" atau "tidak normal", di mana terdapat ketidaksejajaran kekuasaan antara elite politik--sebagai penghasil teks--dan masyarakat awam sebagai konsumen teks. Dengan kekuasaannya, elite politik selalu mendayagunakan bahasa untuk kepentingan politik tertentu. Akhirnya, muncullah banyak fenomena masyarakat yang sering keliru, sering salah, sering tidak mampu, sering tidak tepat dalam memahami bahasa politik itu. Untuk fenomena seperti itu, Mueller (1980:105) menamainya dengan istilah constrained communication, yakni komunikasi antara elite politik, misalnya pemerintah atau pemimpin partai politik, dan masyarakat awam yang berkenaan dengan persoalan kemasyarakatan yang sering memunculkan bias sistematik untuk kepentingan elite politik itu yang membuat sulitnya menemukan pemahaman makna yang sama.
Adanya constrained communication itu mungkin saja membuat masyarakat menjadi frustasi. Masih adakah tempat dan kesempatan bagi masyarakat awam yang notabene objek politik dapat memamahami bahasa politik itu? Rambu-rambu G. Orwell yang sudah muncul pada tahun 1940-an dapat menjadi acuan bagi elite politik dalam mendayagunakan bahasanya. Orwell menyarankan sejumlah kaidah penggunaan bahasa yang sudah seharusnya diikuti oleh para elite politik, seluruh pembicara, dan seluruh penulis demi kepentingan komunikasi yang jelas, jujur, dan dapat dipahami. Enam kaidah itu dipaparkan berikut.
(Anang Santoso, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra (FS), Universitas Negeri Malang [UM]) Pertama, jangan menggunakan metafora, simile, atau gaya bahasa lain yang sudah usang dan tidak mdmberikan pencerahan terhadap pemahaman sesuatu. Perumpamaan "membeli kucing dalam karung", misalnya, yang sering diucapkan oleh elite politik Indonesia sebaiknya dihindari. Orwell mengingatkan bahwa penggunaan frasa tertentu yang berlebihan membuat frasa itu menjadi tidak bermakna.
Kedua, jangan menggunakan kata yang panjang, sementara ada kata yang pendek yang dapat digunakan. Dalam bahasa Inggris, misalnya, kata yang panjang akan memberikan kesan "formal" dan "lebih bermartabat" meskipun kedua kata itu hanya memiliki sedikit perbedaan makna. Kata-kata yang panjang itu sering sulit untuk dipahami. Kata-kata panjang itu, menurut Jones dan Waeing, sering didayagunakan oleh elite politik untuk tujuan: (1) menunjukkan autoritas dan superioritas, & (2) mempengaruhi, mengintimidasi, mempesonakan, & dan membingungkan si penerima.
Kelima, jangan menggunakan frasa bahasa asing, kata atau jargon ilmiah, jika Anda dapat menyampaikannya dalam bahasa sehari-hari. Menurut Jones & Wareing (1999), elite politik menggunakan frasa asing, jargon dan kata ilmiah untuk pelbagai alasan, baik alasan yang baik maupun alasan yang jelek. Jika komunikasi politik bertujuan menginformasikan sesuatu secara jelas dan jujur kepada masyarakat awam, pilihan kata sehari-hari seharusnya menjadi pertimbangan utama. Pilihan kata yang bernuansa prestisius pada umumnya lebih bersifat afektif daripada informatif.
Keenam, langgar kaidah-kaidah di atas (1--5) segera daripada mengatakan sesuatu yang amat kejam. Apa artinya kaidah keenam ini? Rambu-rambu Orwell ini menekankan "bagaimana sesuatu itu disampaikan", dan bukan "apa yang disampaikan". Untuk tujuan hidup sehari-hari, "apa yang dikatakan" mungkin saja lebih penting daripada "bagaimana menyampaikan sesuatu". Sebuah pidato yang diikuti dengan lima kaidah Orwell pertama, tetapi untuk tujuan penindasan dan manipulasi, jelas amat tidak diharapkan. Pidato yang seperti itu jelas-jelas akan menyakiti hati George Orwell.
Bagaimana bahasa politik yang dihasilkan oleh elite politik Indonesia? Marilah kita sama-sama memonitor dan mengkritisi bahasa-bahasa mereka itu!
Kedua, jangan menggunakan kata yang panjang, sementara ada kata yang pendek yang dapat digunakan. Dalam bahasa Inggris, misalnya, kata yang panjang akan memberikan kesan "formal" dan "lebih bermartabat" meskipun kedua kata itu hanya memiliki sedikit perbedaan makna. Kata-kata yang panjang itu sering sulit untuk dipahami. Kata-kata panjang itu, menurut Jones dan Waeing, sering didayagunakan oleh elite politik untuk tujuan: (1) menunjukkan autoritas dan superioritas, & (2) mempengaruhi, mengintimidasi, mempesonakan, & dan membingungkan si penerima.
Ketiga, jika memungkinkan memotong sebuah kata tambahan yang tidak perlu, potonglah kata itu. Penambahan kata ini sering dimanfaatkan oleh elite politik agar apa yang disampaikannya itu terasa lebih impresif dan intimidatif.
Keempat, jangan menggunakan kalimat pasif jika Anda dapat menggunakan aktif. Kalimat aktif bersifat lebih langsung dan lebih informatif. Sementara itu, kalimat pasif tampak lebih formal dan lebih berbelit yang sering memberikan informasi yang kurang sehingga lebih sukar untuk dimengerti. Dalam kalimat aktif, agen pelaku cenderung dimunculkan secara langsung dan eksplisit; dalam kalimat pasif agen pelaku sering disembunyikan, bahkan sering hilang.Kelima, jangan menggunakan frasa bahasa asing, kata atau jargon ilmiah, jika Anda dapat menyampaikannya dalam bahasa sehari-hari. Menurut Jones & Wareing (1999), elite politik menggunakan frasa asing, jargon dan kata ilmiah untuk pelbagai alasan, baik alasan yang baik maupun alasan yang jelek. Jika komunikasi politik bertujuan menginformasikan sesuatu secara jelas dan jujur kepada masyarakat awam, pilihan kata sehari-hari seharusnya menjadi pertimbangan utama. Pilihan kata yang bernuansa prestisius pada umumnya lebih bersifat afektif daripada informatif.
Keenam, langgar kaidah-kaidah di atas (1--5) segera daripada mengatakan sesuatu yang amat kejam. Apa artinya kaidah keenam ini? Rambu-rambu Orwell ini menekankan "bagaimana sesuatu itu disampaikan", dan bukan "apa yang disampaikan". Untuk tujuan hidup sehari-hari, "apa yang dikatakan" mungkin saja lebih penting daripada "bagaimana menyampaikan sesuatu". Sebuah pidato yang diikuti dengan lima kaidah Orwell pertama, tetapi untuk tujuan penindasan dan manipulasi, jelas amat tidak diharapkan. Pidato yang seperti itu jelas-jelas akan menyakiti hati George Orwell.
Bagaimana bahasa politik yang dihasilkan oleh elite politik Indonesia? Marilah kita sama-sama memonitor dan mengkritisi bahasa-bahasa mereka itu!
Sumber:
Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Penerbit WEDATAMA WIDYA SASTRA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar