Bahasa politik--yakni bahasa yang dipergunakan oleh elite politik--bukanlah bahasa "asing" yang sering dimengerti secara tidak tepat, keliru, & salah oleh publik yang notabene adalah konsumen politik. Bahasa politik tetap bahasa yang digunakan oleh masyarakat pada umumnya. Kasus Bupati Jember yang diprotes warganya hanya karena dituduh menghina Nabi Muhammad berasal dari ketidakkompetenan pejabat dalam mengelola bahasa publik. Kasus anggota DPR yang bersilat lidah secara vulgar dalam sidang tentang kasus Bank Century menunjukkan begitu rendahnya kompetensi berbahasa mereka. Masih banyak contoh lain dari elite kita tentang rendahnya kemampuan penggunaan bahasa politik.
Untuk itulah, beberapa rambu-rambu berikut dapat menjadi panduan bagi elite politik, elite masyarakat, elite agama, dan elite-elite yang lain.
1. Bahasa politik harus dapat berfungsi sebagai alat komunikasi yang dapat menjangkau semua lapisan masyarakat, baik secara vertikal maupun horisontal (Santoso, 2006:95).
2. Bahasa politik harus dijaga supaya tetap merupakan bagian dari bahasa yang hidup di dalam masyarakatnya dan tidak boleh melanggar kaidah-kaidahnya (Kawulusan, 1998:5).
3. Bahasa politik harus dijiwai oleh tatanilai yang dianut dan dihayati oleh seluruh masyarakatnya (Kawulusan, 1998:5).
4. Bahasa politik harus menghindarkan diri dari sifat-sifat sarkasme, vulgarisme, berputar-putar, abstrak, dan sulit dipahami.
Oleh karena itu, jika kita menjadi elite apa pun rambu-rambu berbahasa di atas harus dikuasai.
(Anang Santoso, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra (FS), Universitas Negeri Malang [UM])
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar