Anang Santoso
Fakultas Sastra UM
Bahasa perempuan dapat disikapi sebagai wacana, yakni cara membahasakan peristiwa, pengalaman, pandangan, dan kenyataan hidup tertentu. Bahasa perempuan selalu merepresentasikan model pandangan hidup tertentu, yakni gambaran sebuah konstruksi dunia yang bulat dan utuh tentang ide hidup dan kehidupan yang sudah ditafsirkan dan diolah oleh perempuan. Bahasa perempuan adalah representasi gaya tutur kooperatif, yang membedakannya dengan gaya kompetitifnya bahasa laki-laki.
Bahasa perempuan juga dapat dipandang sebagai perjuangan simbol wacana subordinatif. Setiap interaksi sosial lintas−jender selalu menggunakan simbol−simbol yang menyediakan pelbagai perangkat tanda untuk melakukan perjuangan, penggugatan, atau pertarungan terhadap wacana hegemonik. Dalam kenyataannya, makhluk perempuan banyak mengalami kekerasan simbolik. Sebutan, predikat, stereotipe, jargon, motto, semboyan, olok-olok, plesetan, bahkan syair lagu pun menjadi tempat kekerasan simbolik itu. Kekerasan simbolik bekerja dengan menyembunyikan pemaksaan dominasi yang akhirnya diterima begitu saja oleh kelompok subordinatif sebagai sesuatu “yang memang seharusnya demikian”. Mereka yang terdominasi menjadi ikhlas untuk dikuasai dan berada dalam cengkeraman dominasi tanpa sikap kritis.
Wacana−wacana yang muncul dari budaya patriarki telah menciptakan male-gaze, yakni sebuah cara pandang yang selama ini berlaku begitu saja pada laki-laki, dan cara pandang ini bisa saja tidak sama, berbeda, bertolak belakang, berlawanan dengan cara pandang perempuan. Salah satu agenda pokok yang harus dilakukan oleh perempuan adalah “bertarung” dalam pembentukan dan penafsiran wacana publik (public discourse). Setiap ranah—di mana pun dan kapan pun—akan selalu terdapat pertarungan antara “yang mendominasi” dan “yang didominasi”, antara self dan others. Dengan menggunakan modal yang dimilikinya—misalnya kepandaian, kekuasaan, dan kemashuran—perempuan sudah seharusnya terlibat secara aktif-kreatif dalam pembentukan dan penafsiran wacana publik yang lebih berwajah perempuan—atau paling tidak—tidak resisten pada perempuan.
Sumber: Santoso, Anang. 2009. Bahasa Perempuan Sebuah Potret Ideologi Perjuangan. Jakarta: Penerbit BUMI AKSARA.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar