Anang Santoso
Fakultas Sastra & PPS UM
SEBUAH PENGAKUAN
“Wah, Bapak terlalu overestimate tentang saya”. Begitulah jawaban saya terhadap Pak Effendi (A. Effendi Kadarisman, M.A., Ph.D.) ketika beliau meminta saya membedah buku beliau yang baru terbit. Hal ini didasarkan atas pengalaman “masa lalu” ketika membaca karya Pak Effendi. Setiap kali saya membaca tulisan beliau yang muncul dalam sejumlah jurnal, terus terang saja saya memerlukan banyak sekali energi dan waktu untuk memahaminya (Ini bukan keluhan, lho). Begitu rumit dan rincinya, saya sering menyebut beliau dengan “Chomskyan UM”. Demikian juga, pengalaman mengikuti kuliah “Aliran Linguistik”-nya Prof. Abdul Wahab, M.A., Ph.D. (alm.) ketika menempuh program doktor, saya selalu mengernyitkan dahi ketika membedah buku-buku Chomsky meskipun Pak Wahab selalu membuatkan ringkasan kecil buku Comsky untuk kelas kami. Terus terang saja, sebenarnya saya sangat ingin menguasai teori-teori Chomsky, mulai Teori Klasik (1957), Teori Standar (1965), Teori Standar yang Diperluas (1969/1970), Teori Standar yang Diperluas dan Direvisi (1975), Teori Penguasaan dan Ikatan (1980/1981) sampai teori-teori yang muncul selanjutnya. Inilah pengakuan jujur saya. Akan tetapi, sebagai bentuk tanggung jawab akademik, saya tentu saja saya merasa bahagia dan untuk selanjutnya saya melakukan dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya dalam membaca dan membaca ulang buku karya Pak Effendi ini.
Buku Pak Effendi ini adalah bentuk baru dari sejumlah artikel terserak yang pernah disajikan dalam pelbagai forum. Dilihat dari forum tempat artikel disajikan, tentulah kita semua sepakat bahwa tulisan-tulisan dalam buku ini berkualitas tinggi atau berbobot. Kita semua tidak menyangsikan begitu bergengsinya KLN (Kongres Linguistik Nasional) dan KIMLI (Kongres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia) yang diadakan secara rutin oleh Masyarakat Linguistik Indonesia, PELLBBA atau pertemuan linguistik lembaga bahasa dan budaya Atma Jaya Jakarta (yang setiap tahun diadakan oleh Universitas Atma Jaya Jakarta), apalagi forum TEFLIN International Conference.
Ada ketakutan pada diri saya ketika harus membedah buku Pak Effendi. Ada dua alasan. Pertama, alasan yang klasik, saya takut tidak memberikan paparan yang objektif terhadap karya tersebut. Yang paling utama adalah saya takut tidak tepat memahami karya-karya Pak Effendi karena keterbatasan kemampuan membaca saya. Kedua, saya takut melakukan kesewenang-wenangan terhadap karya ini. Tentu saja, perspektif linguistik saya—yang mungkin saja bersifat subjektif—memaksa karya ini “seharusnya” seperti yang saya kehendaki. Selama ini saya tidak terlalu intensif membaca dan memahami karya-karya linguistik madzab Anglo-Amerika. Karya-karya linguistik formal atau linguistik autonom Amerika, seperti dari Bloomfield, Chomsky, Katz & Fodor, Katz & Postal, Akmajian, Lakoff, McCawley dan lain-lainnya tidak terlalu saya ikuti. Kalaupun membaca dan memahaminya hanya sebatas kulit-kulitnya saja (Itu pun lebih banyak saya peroleh dari hasil membaca buku-buku tangan kedua, bahkan tangan ketiga).
Sebaliknya, selama ini pula saya membaca—yang jumlahnya juga tidak terlalu banyak—buku-buku linguistik madzab Eropa-Kontinental, khususnya karya-karya linguistik aliran London dan penerusnya, khususnya yang mengambil perspektif kritis, sebuah aliran yang sekarang terkenal dengan nama studi bahasa kritis, khususnya “linguistik kritis” dan “analisis wacana kritis”. Nama-nama linguis, seperti Halliday, Fowler, Hodge, Kress, Fairclough, van Dijk, Lee, dan Wodak inilah yang lebih banyak saya geluti. Buku, artikel jurnal, dan makalah seminar yang saya tulis (lihat Santoso, 2000; 2003; 2006a; 2006b; 2006c; 2007a; 2007b; 2008a; 2008b; 2008c; 2009a; 2009b) lebih banyak berwajah penerus aliran London itu (kalau boleh disebut demikian). Oleh karena itu, sekali lagi, apabila bahasan dan komentar terhadap karya-karya Pak Effendi tidak seimbang atau keliru cara pandang kemungkinan besar akan terjadi (dan tentu saja saya minta maaf yang sebesar-besarnya).
Di tengah kegamangan itu, sepintas saya teringat kepada seorang tokoh besar kelompok pascastrukturalisme, yakni Roland Barthes, tentang “kematian pengarang”. Barthes (1915—1980) telah menulis sebuah esai monumental tentang The Death of the Author, sebuah konsep yang ingin mendekonstruksi pandangan modernisme tentang peran pengarang dan karyanya. Seperti kita ketahui, terkait dengan peran pengarang dan karyanya, wacana modernisme memandang adanya dua karakteristik. Pertama, modernisme memandang begitu penting dan sentralnya peran pengarang (seniman atau pencipta). Sebuah karya seni atau teks modern selalu diidentifikasikan dengan seniman atau pengarangnya. Kedua, modernisme menganggap sebuah karya sebagai hasil jenius sang seniman atau penulis, suatu karya yang autentik dan unik. Autoritas dan keautentikan ini dilegitimasikan melalui tanda tangan seniman atau hak cipta pengarang.
Sebaliknya, dalam pascamodernisme, pengarang dengan semangat Cartesian tidak lagi punya tempat dalam wacana. Metafora “pengarang sudah wafat” dari Barthes digunakan untuk menggambarkan bahwa tidak ada lagi semangat dan jiwa pengarang dalam karyanya. Pengarang tidak lagi bicara. Wafatnya sang pengarang dalam era posmodern diiringi dengan lahirnya para pembaca (reader) dan berkembangnya model writerly text, yaitu teks yang menjadikan pembaca/teks-teks sebagai pusat penciptaan, daripada pengarangnya sendiri. Pada writerly text, pembaca dibebaskan dari tirani pengarang dan mereka berpeluang untuk berpartisipasi dalam menghasilkan pluralitas makna dalam wacana. Matinya sang pengarang juga diikuti dengan munculnya “kekuatan pembaca” (reader’s power), yaitu adanya kekuasaan pembaca dalam menafsirkan sebuah karangan.
Tentu saja, pertemuan bedah buku ini tetap memiliki nilai manfaat yang besar. Inilah salah satu nafas segar institusi yang berlabel “keilmuan”. Dan inilah hakikat sebuah pendidikan tinggi. Tradisi ini untuk selanjutnya haruslah kita teruskan dengan menganekaragamkan bentuk sesrawungan ilmiah ini, termasuk juga memperluas jangkauan partisipannya.
Untuk selanjutnya, marilah kita memasuki pikiran-pikiran Pak Effendi. Sekali lagi, tidak mudah membaca karya Pak Effendi ini. Untunglah, pengarang telah memberikan bimbingan kepada pembaca melalui tulisan pada bagian awal buku, yakni pada “Pendahuluan”. Bagian ini lebih berupa pemetaan tentang garis besar isi artikel. Secara umum, buku ini membahas persoalan: (1) relativitas dan universalitas bahasa, serta penerapannya dalam pengajaran bahasa, dan (2) puitika, etnopuitika, dan penerjemahan.
Dilihat dari pembidangan keilmuan, artikel-artikel dalam buku ini meliputi bidang linguistik (murni), linguistik terapan, (sosio)antropolinguistik, psikolinguistik, dan (etno)puitika. Sementara itu, buku-buku yang diresensi mencakup bidang linguistik, psikolinguistik, pemerolehan bahasa kedua, dan analisis wacana. Dilihat dari aspek ini, Pak Effendi adalah seorang yang multitalenta, selain seorang linguis, beliau adalah seorang seniman. Judul buku yang sedang kita resensi ini, tampak adanya penerapan rima aliterasi “m-b-m-b”, yang sekaligus juga menunjukkan begitu artistiknya judulnya.
Dilihat dari aktualitas topik dalam artikel, ada beberapa topik yang berkategori “lama”, dan ada yang berkategori “baru”. Yang berkategori lama antara lain tampak pada artikel bertopik relativitas bahasa dan budaya, serta hipotesis Sapir-Whorf. Akan tetapi, karena kedua topik itu dikaitkan dan dihadapkan dengan data-data baru, topik-topik itu masih tetap saja menarik. Ketika relativitas bahasa dan budaya dihadapkan dengan nilai-nilai budaya Jawa dan Indonesia, topik itu terasa memperoleh aksentuasi baru. Dan untuk selanjutnya kita semakin paham mengapa budaya Jawa dan Indonesia seperti itu. Ketika relativitas bahasa dan budaya dikaitkan dengan pengajaran bahasa asing, aksiologi topik itu semakin tampak dan terasa. Bahwa ada dimensi transfer error pada ranah struktur dan kultur yang perlu diwaspadai guru dalam mengajarkan bahasa asing. Ketika hipotesis Sapir-Whorf diujikan kepada ungkap verbal keagamaan orang Indonesia dan orang Amerika, topik yang sudah muncul pada awal abad XX itu semakin nyata kebenaran isi rumusan hipotesisnya, sehingga semakin layaklah apabila hipotesis itu menyandang status “tesis”, bukan hipotesis lagi. Memang ada keuntungan ketika sebuah teori itu berstatus hipotesis. Dengan istilah hipotesis, sebuah teori itu akan terus memancing para peneliti untuk dapat memperkuat dan menggugurkan hipotesis itu. Bahkan, dengan kelakar kita dapat mengatakan bahwa istilah hipotesis akan lebih mengamankan posisi pengarang tentang keakuratan sebuah “teori” itu (jika akurat ya syukur, jika tidak ya tidak apa-apa, wong namanya saja hipotesis).
Meskipun sudah muncul pada dasawarsa 1960-an, topik “gramatika semesta” saya kelompokkan ke dalam topik yang baru seruang dengan topik “teori minimalis Chomsky”. Seperti kita ketahui bersama sampai saat ini perdebatan, penafsiran, dan implementasi gramatika semesta masih terus berlangsung. Itulah mengapa Chomsky dikategorikan ke dalam linguis besar dan tulisan-tulisan kita terasa tidak afdhol apabila tidak mengutip dari buku Chomsky. Bahkan, revolusi linguistik Chomsky sering disejajarkan dengan revolusi Copernicus yang amat melegenda itu. Topik-topik baru seperti etnopuitika, penerjemahan, dan yang lainnya tidak saya komentari dalam tulisan singkat ini.
Pak Effendi menampilkan gramatika semesta lewat sajian kronologis dan pandangan kritisnya. Ketika gramatika semesta Chomsky ditampilkan dalam bentuk seperti itu, topik tersebut dapat memberikan pencerahan dan penajaman tentang perjalanan pikiran-pikiran Chomsky secara lebih komprehensif, keunggulan dan keterbatasannya, bukan dalam bentuk mozaik-mozaik pikiran. Dan ini amat membantu seseorang yang ingin memperdalam pikiran-pikiran pokok Chomsky.
KOMENTAR TERHADAP MENGURAI BAHASA MENYIBAK BUDAYA
Beberapa pokok pikiran yang saya kemukakan untuk memberikan catatan terhadap buku Pak Effendi ini, meliputi (1) prinsip parsimoni dalam kajian bahasa, (2) kajian bahasa: autonom x instrumental, theory of grammar x theory of language, (3) catatan penutup.
Prinsip Parsimoni dalam Kajian Bahasa
Istilah “parsimoni” biasanya digunakan dalam bidang penelitian. Kerlinger (kalau tidak salah) menggunakan istilah parsimoni untuk merujuk pada ketepatan dan kecocokan penggunaan metode analisis tertentu untuk memecahkan masalah yang tertentu pula. Sebuah metode hanya cocok untuk memecahkan masalah tertentu, tetapi tidak cocok untuk memecahkan masalah lainnya. Sebuah nyamuk yang hinggap di pipi perlu diusir dengan menggunakan telapak tangan, dan ini dianggap cocok. Tidaklah perlu digunakan obat penyemprot nyamuk, baygon (maaf kampanye produk), pistol, atau bom (atom). Kelompok terakhir ini tentulah tidak cocok untuk mengusir nyamuk yang membandel itu.
Demikian juga dengan teori linguistik. Teori dalam linguistik itu ibarat resep obat dari dokter spesialis. Satu obat tertentu digunakan untuk mengobati satu penyakit tertentu. Sebaliknya, teori dalam linguistik itu bukan seperti resep jamu—khususnya jamu jawa—yang dapat mengobati pelbagai macam keluhan nyeri dan rasa sakit pada diri seseorang.
Terkait dengan hal tersebut, Pak Effendi sudah melakukannya. Teori-teori yang dipilih memang amat sesuai dengan masalah-masalah yang dibedah, baik secara deduktif maupun induktif. Banyak tulisan di lapangan, beberapa penulis menggunakan dan mengaplikasikan sebuah teori secara sembarang. Cocokkah mengaji dialog dalam prosa fiksi (novel, cerpen) dengan menggunakan “prinsip kerjasama” Grice? Apa yang diperoleh dari kajian bahasa iklan dengan menggunakan pisau linguistik struktural? Bagaimana jika bahasa kampanye ditinjau dari teori keefektifan kalimat? Apa yang dapat dijelaskan dengan kajian tindak ujaran Searle dan Austin terhadap bahasa politik? Apa yang dapat diungkap dari rahasia bahasa politik jika dianalisis dengan prinsip kerjasama Grice? Jawaban apa yang dapat diperoleh dari kajian “wacana Inul Daratista” dari aspek tekstualitasnya saja, dengan tidak memperhatikan intertekstualnya? Dalam pandangan saya, kajian-kajian itu memaksakan diri dan menghasilkan penjelasan yang amat lemah dan tidak pas, seperti seorang ibu mengiris tempe dengan gergaji kayu. Tempenya memang terpotong, akan tetapi tidak menghasilkan bentuk-bentuk tertentu yang diinginkan, bahkan mungkin saja banyak bagian yang tercerai berai. Tentu saja, bidang-bidang itu harus dikaji dengan pendekatan dan teori linguistik yang cocok.
Kajian Bahasa: Autonom vs Instrumental
Kajian bahasa sering dan selalu terkait dengan dikotomi. Ada dikotomi “filosofis-logis” x “deskriptif etnografis”; ada dikotomi “formalisme” x “fungsionalisme”; ada dikotomi “sistemik” x “kontekstual”; ada dikotomi theory of grammar x theory of language; ada dikotomi “deskriptif” x “kritis”. Dikotomi ini hanya untuk memudahkan pemetaan dan pemahaman.
Bahasa sejak dahulu hingga sekarang telah memberikan andil besar bagi perkembangan peradaban manusia. Melalui simbol-simbol bahasa, karya intelektual, budaya manusia, dilestarikan dan ditransformasikan dari satu periode generasi ke generasi berikutnya.
Lewat bahasa, manusia dapat menyampaikan dan mengembangkan pemikirannya dalam aneka wujud kebudayaan. Simbol-simbol bahasa memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Dunia di sekeliling kita mempunyai makna karena diberi makna oleh sistem bahasa yang dimiliki oleh manusia.
Bahasa adalah sine qua non bagi kebudayaan dan manusia. Lewat bahasa, manusia mengabstrakkan seluruh pengalaman empiris, rasional, dan spiritualnya secara konseptual, sistematis, dan terstruktur yang pada gilirannya mengantarkan lahirnya dunia simbolik yang melewati sekat-sekat ruang dan waktu.
Dunia manusia tidak dibatasi lagi oleh realitas fisik, tetapi dengan bahasa manusia sanggup memasuki dunia lain yang jauh lebih luas dan kompleks. Dengan bahasa, manusia dapat mengungkap makna-makna yang tersembunyi dari dunia lain. Bahasa bagi manusia telah mendorongnya untuk memperluas cakrawala dunia. Nama-nama yang ada dalam cakrawala dunia diberi label sehingga dengan label ini manusia menciptakan jaringan komunikasi dan membangun makna-makna. Akhirnya, pelbagai rahasia alam pun menjadi terungkap kerahasiannya.
Inilah mengapa bahasa selalu menarik untuk dikaji dan mengapa bahasa selalu dikaji sepanjang peradaban manusia. Mereka mengaji bahasa dengan menggunakan perspektif masing-masing. Kaum strukturalisme, pragmatisme, posmodernisme, misalnya, menggunakan cara pandang masing-masing yang mungkin saja berbeda dalam mengaji bahasa manusia.
Ketika bahasa dipandang sebagai langue (dalam dikotomi Saussure) atau tataran competence (dalam dikotomi Chomsky) maka bahasa terwujud sebagai sesuatu yang homogen. Kajian pada tataran ini selalu akan berakhirnya dengan lahirnya sistem kaidah, atau gramatika semesta yang sifatnya abstrak. Sebaliknya, ketika bahasa dipandang sebagai parole (dalam dikotomi Saussure) atau performance (dalam dikotomi Comsky) maka bahasa terwujud sebagai sesuatu yang heterogen. Kajian pada tataran ini akan menghasilkan sebuah teori umum yang utuh dengan menyertakan konteks penggunaan sosial-budaya.
Untuk memetakan buku Mengurai Bahasa Menyibak Budaya karya Pak Effendi, saya mengambil dikotomi autonom versus instrumental. Dikotomi ini saya ambil dari pandangan Halliday (1978). Dalam wawancara dengan Herman Parret, Halliday menerima pandangan bahwa linguistik menjadi “linguistik instrumental”, yakni kajian bahasa untuk memahami sesuatu yang lain. Dengan demikian, sebuah linguistik instrumental memiliki relevansi karakteristik dengan tujuan yang akan dicapai. Dalam linguistik instrumental, juga mempelajari hakikat bahasa sebagai fenomena keseluruhan. Oleh karena itu, menurut Halliday (1978:36) tidak ada konflik atau kontradiksi antara “linguistik instrumental” dengan “linguistik autonom”. Linguistik instrumental merupakan kajian bahasa untuk memahami sesuatu yang lain, misalnya memahami sistem sosial atau sistem budaya, sistem yang berada di luar bahasa itu. Linguistik autonom merupakan kajian bahasa untuk memahami sistem dalam linguistik itu sendiri, misalnya menemukan gramatika semesta.
Linguistik instrumental ini sebenarnya dapat dilacak pada linguistik fungsional-sistemik Halliday. Dalam pandangan Fowler (1996) istilah fungsional dalam linguistik fungsional memiliki dua pengertian. Pertama, linguistik fungsional berangkat dari premis bahwa bentuk bahasa merespon fungsi-fungsi penggunaan bahasa. Kedua, linguistik fungsional berangkat dari asumsi-asumsi linguistik, seperti juga bahasa, memiliki fungsi-fungsi berbeda dan tugas-tugas berbeda. Dengan demikian, bentuk linguistik akan merespon fungsi-fungsi linguistik itu.
Dan karya Pak Effendi telah bergerak antara yang autonom—misalnya artikel tentang Chomsky—ke yang instrumental—misalnya artikel terjemahan dan metafora. Keberagaman artikel itu dalam pandangan saya malah menjadi sebuah jalinan karya ilmiah yang indah. Apalagi, dalam pelbagai artikel muncul istilah yang puitis dan tajam yang culturally bound.
Kajian bahasa dengan teori apa pun yang sering diperlakukan secara dikotomi—apakah yang linguistik autonom atau yang instrumental, apakah yang sistemik atau yang kontekstual, apakah yang formal atau yang fungsional, apakah yang theory of grammar atau yang theory of language, apakah yang filosogis-logis atau yang deskriptif-etnografis—selalu akan selalu berusaha mengungkap hakikat manusia sebagai animal symbolicum (meminjam istilah E. Cassirer). Atau kita dapat mengikuti pandangan Kaswanti Purwo (2006) bahwa kedua jenis kajian itu tidak perlu dipertentangkan, tetapi dapat saling menggalang kerjasama karena dapat saling melengkapi ke arah usaha bersama kita (linguis): makin memahami dalam upaya kita mengupas misteri mengenai bahasa manusia. Sekali lagi, kedua cara pandang tidak perlu dipertentangkan.
Catatan Akhir
Jelaslah, artikel-artikel Pak Effendi bagaikan pendulum yang terus bergerak dari yang autonom ke yang instrumental, dari yang sistemik ke kontekstual, dari yang universal ke yang relatif, dari theory of grammar ke theory of language, dari yang formal ke yang fungsional, dari yang universal ke yang relatif. Maka, lengkaplah Pak Effendi sebagai linguis Indonesia.
Dalam beberapa komunikasi pribadi, saya menantang Pak Effendi untuk membumikan pikiran-pikiran Chomsky yang menurut saya amat rumit dan sulit dipahami ini menjadi sebuah karya linguistik yang “mudah saya pahami”. Bagaimana tata bahasa keilmuan Chomsky dibahasakan menjadi tata bahasa pendidikan Chomsky menjadi tantangan bagi Pak Effendi meskipun beberapa pakar linguistik seperti Mangasa Silitonga dan Yus Badudu memandang ketidakmungkinan menggunakan teori generatif untuk tatabahasa pendidikan (pedagogical grammar). Untuk itulah, agar pikiran-pikiran Chomsky tidak hanya terbatas dalam lingkungan akademik di perguruan tinggi atau organisasi profesi, ada baiknya Pak Effendi menata ulang pikiran-pikiran Chomsky dalam bahasa yang “lebih gaul”.
Terima kasih.
Bumi Mangliawan, awal Desember 2009.
DAFTAR PUSTAKA
Birch, D. 1996. Critical Linguistics as Cultural Process. Dalam James, J.E. (Ed.), The Language-Culture Connection (hlm. 64—85). Singapore: SEAMEO Regional Language Centre.
Chomsky, N. 1977. Language and Responsibility. New York: Pantheon Books.
Fairclough, N. 1985. Critical and Descriptive in Discourse Analysis. Journal of Pragmatics, 9: hlm. 739—763.
Fairclough, N. 1989. Language and Power. New York: Longman Group UK Limited.
Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Harlow-Essex: Longman Group Limited.
Fairclough, N. 1995. Pendahuluan. Dalam Fairclough, N. (Ed.), Kesadaran Bahasa Kritis (hlm. 1—34). Terjemahan oleh Hartoyo. Semarang: IKIP Semarang Press.
Fairclough, N. 1995. Ketepatan dari “Tepat”. Dalam Fairclough, N. (Ed.), Kesadaran Bahasa Kritis (hlm. 37—61). Terjemahan oleh Hartoyo. Semarang: IKIP Semarang Press.
Fowler, R. 1985. Power. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 61—82). London: Academic Press.
Fowler, R. 1986. Linguistic Criticism. Oxford: Oxford University Press.
Fowler, R. 1991. Language in The News: Discourse and Ideology in the Press. London & New York: Routledge.
Fowler, R. 1996. On Critical Linguistics. Dalam Caldas-Coulthard, C.R. & Coulthard, M. (Eds.), Texts and Practices: Reading in Critical Discourse Analysis (hlm. 3—14). London: Routledge.
Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotic: The Social Interpreta-tion of Language and Meaning. Victoria: Edward Arnold Pty Ltd.
Hodge, R. & Kress, G. 1993. Language as Ideology. Second Edition. London & New York: ROUTLEDGE.
Kaswanti Purwo, B. 2006. Linguistik Formal dan Linguistik Fungsional. Makalah disajikan dalam Semiloka Nasional “Linguistik Fungsional Sistemik” yang diselenggarakan oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, UNJ Jakarta, 9—10 November.
Lee, D. 1992. Competing Discourse: Perspective and Ideology in Language. London & New York: Longman.
Piliang, Yasraf A. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
Santoso, Anang. 2000. Paradigma Kritis dalam Kajian Kebahasaan. Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 28(2): hlm. 127—146.
Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Penerbit Weda-tama Widya Sastra (WWS).
Santoso, Anang. 2006a. Jejak-Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana Kritis. Disajikan pada Konferensi Linguistik Fungsional-Sistemik, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jakarta, tanggal 26 Desember.
Santoso, Anang. 2006b. Media Massa, Bahasa, dan Perspektivitas: Kajian Linguistik Kritis. Disajikan pada Seminar Regional Membaca Kuasa Media Massa dalam Rangka Lustrum Universitas Brawijaya Malang, tanggal 17 Oktober.
Santoso, Anang. 2006c. Bahasa, Masyarakat, dan Kuasa: Topik-Topik Kritis dalam Kajian Ilmu Bahasa. Diktat Matakuliah Sosiolinguistik. Malang: Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.
Santoso, Anang. 2007a. Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya. Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 35(1): hlm. 1—15.
Santoso, Anang. 2007b. Beberapa Catatan tentang Bahasa Perempuan: Perspektif Wacana Kritis. Diksi: Jurnal Ilmiah Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 14(2): hlm. 111—121.
Santoso, Anang. 2008a. Bahasa sebagai Faktor Integrasi dan Disintegrasi Bangsa. Disajikan dalam Studium General Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), UPT Pengelola Matakuliah Universiter (UPMU), Universitas Negeri Malang, 23 Januari.
Santoso, Anang. 2008b. Teori Wacana: Dari Perspektif Deskriptif ke Kritis. Disajikan pada Pencerapan Teori Wacana dalam Rangka Meningkatkan Mutu SDM Peneliti Bahasa, Balai Bahasa Jawa Timur, Surabaya, tanggal 15 September.
Santoso, Anang. 2008c. Penggunaan Gramatika dalam Wacana Politik: Studi Representasi Bahasa sebagai Sistem Makna Sosial dan Politik. Diksi: Jurnal Ilmiah Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 15(2): hlm. 221—233.
Santoso, Anang. 2009a. Bahasa Perempuan Sebuah Potret Ideologi Perjuangan. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Santoso, Anang. 2009b. Bahasa sebagai Media Kekuasaan: Menggugat Kekerasan Simbolik dalam Wacana Publik. Disajikan pada Seminar bertajuk Bahasa sebagai Media Kekuasaan, Senat Mahasiswa FBS Universitas Negeri Surabaya (Unesa), 15 Februari.
Silitonga, Mangasa. 1990. Tata Bahasa Transformasional Sesudah Teori Standar. Dalam Kaswanti Purwo, Bambang (Ed.), PELLBA 3: Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya Ketiga (hlm. 23—47). Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar