Sabtu, 08 Mei 2010

TEORI WACANA: DARI PARADIGMA DESKRIPTIF KE PARADIGMA KRITIS

Anang Santoso

Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM)

1. Pengantar

Jika kita mendengarkan ceramah dalam seminar, pelatihan, atau pengajian agama, istilah wacana sering digunakan oleh para penceramah. Jika kita membaca pelbagai buku, istilah wacana juga sering kita jumpai. Jika kita membuka internet dan kita “klik” kata discourse, jumlah penggunaan istilah itu juga sangat banyak. Hal ini menunjukkan bahwa istilah itu sudah menjadi konsumsi pelbagai lapisan masyarakat. Istilah wacana sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat. Mereka menggunakannya dengan bermacam-macam arti. Ada yang menggunakannya dengan arti yang tepat. Sebaliknya, ada juga yang menggunakannya secara tidak tepat.

Dalam linguistik, misalnya, teori wacana semakin dirasakan kehadirannya. Rasanya menjadi tidak lengkap apabila sebuah paparan tentang kebahasaan tidak menyertakan teori wacana itu. Bahkan, buku Tata Bahasa Indonesia Baku menempatkan bab tentang wacana secara mandiri sejajar dengan bidang tata bahasa lainnya, seperti kalimat dan kata, sebuah terobosan dalam penulisan tata bahasa yang selama ini belum pernah dilakukan. Buku-buku tata bahasa Indonesia yang disusun oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA), C.A. Mees, Gorys Keraf, dan lain-lain tidak pernah menempatkan topik wacana dalam paparannya. Sebagai pisau analisis, teori wacana sudah banyak digunakan dalam penelitian-penelitian sosial dan pendidikan. Dalam penelitian sosial, misalnya, desain “analisis wacana” dan “analisis wacana kritis” sudah banyak digunakan oleh para peneliti. Dalam penelitian pendidikan, khususnya penelitian pengajaran bahasa, desain “analisis wacana” juga sudah banyak digunakan para peneliti untuk menjawab persoalan-persoalan pengajaran. Teori wacana dan analisis wacana sudah bukan lagi menjadi kapling bidang kebahasaan, tetapi sudah menjadi milik bidang-bidang yang lain.

2. Arti “Wacana” dan Variasi Penggunaannya

Sebagai awal pembahasan, marilah kita mulai mengenali pelbagai penggunaan kata “wacana”. Pertama, istilah “wacana” dioposisikan atau disandingkan dengan istilah “bahasa”. Oposisi ini banyak digunakan dalam bidang hermeneutika. Oposisi ini sebanding dengan oposisi Saussure yang terkenal, yakni langue dan parole. Istilah “bahasa” senada dengan langue, sedangkan istilah “wacana” senada dengan parole. Dengan demikian, wacana dapat dimaknai penggunaan dalam konteks tertentu.

Kedua, istilah “wacana” dioposisikan dan atau disandingkan dengan istilah “teks”. Geoffrey Leech & Michael Short, misalnya, menggunakan kedua istilah sebagai berikut.

Discourse is linguistic communication seen as a transaction between speaker and hearer, as an interpersonal activity whose form is ditermined by its social purpose. Text is linguistic communication (either spoken or written) seen simply as a message coded in its auditory or visual medium (Mills, 1997:4).

Dalam kenyataannya, dua istilah itu sering digunakan secara tumpang tindih. Pertanyaannya, apakah teks dan wacana itu merujuk kepada maujud (entity) yang sama? Apakah keduanya merujuk kepada sesuatu yang berbeda? Dari pelbagai pustaka rujukan, keduanya dapat merujuk kepada hal yang sama dan sebaliknya keduanya juga dapat merujuk kepada hal yang berbeda. Secara keilmuan, acapkali dipertukarkan secara bebas antara istilah “wacana” (discourse) dan “teks” (text). Ada yang memperlakukan secara sama, ada yang berbeda. Dalam bahasa Jerman, hanya dipakai istilah text untuk kedua istilah wacana dan teks itu. Ilmu yang membicarakannya disebut dengan Linguistika Teks (lihat de Beaugrande & Dressler, 1986).

Sebaliknya, dalam tradisi berbahasa Inggris yang lebih dikenal di Indonesia penggunaan keduanya dibedakan. Ada yang berpandangan bahwa teks lebih merujuk kepada bahasa tulis, sedangkan wacana merujuk pada bahasa lisan. Ada yang berpandangan bahwa teks menyiratkan monolog noninteraktif, sedangkan wacana menyiratkan wacana interaktif. Ada yang berpandangan bahwa teks itu bisa panjang dan bisa pendek, sementara itu wacana mengimplikasikan panjang tertentu. Ada yang berpandangan bahwa teks adalah fenomena kebahasaan semata-mata, sedangkan wacana adalah fenomena penggunaan bahasa (teks) dan konteks.

Ketiga, istilah wacana dioposisikan dengan kalimat atau klausa. Definisi ini hanyak digunakan dalam linguistik deskriptif, termasuk di dalamnya linguistik Indonesia. Michael Stubbs (1983:10) mengemukakannya sebagai berikut.

Wacana adalah “organisasi bahasa di atas kalimat atau klausa; dengan perkataan lain unit-unit linguistik yang lebih besar daripada kalimat atau klausa, seperti pertukaran-pertukaran percakapan atau teks-teks tertulis” (Stubbs, 1983: 10)

Hal senada juga ditemukan pada pandangan David Crystal sebagai berikut.

Wacana adalah “suatu rangkaian sinambung bahasa (khususnya lisan) yang lebih luas daripada kalimat” (Crystal, 1985:96).

Kedua pandangan memiliki kesamaan tentang stratifikasi wacana yang berada di atas kalimat atau klausa. Bedanya, jika Stubbs menjelaskan lingkup wacana dapat berupa lisan atau tulisan, Crystal lebih menekankan wacana berada pada ranah lisan.

Keempat, istilah wacana yang merujuk kepada satuan lingual tertinggi, lengkap, dan atau utuh. Hal ini dapat diperhatikan pada pandangan Kridalaksana dan Samsuri berikut.

Wacana adalah “satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedi, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap” (Kridalaksana, 1984:208)

Wacana ialah “rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi” (Samsuri, 1988:1).

Kridalaksana menekankan adanya syarat “kelengkapan”. Ukuran panjang dan pendek tidaklah menjadi masalah. Yang penting bahwa satuan lingual itu memiliki syarat kelengkapan. Samsuri menekankan syarat “keutuhan”. Yang penting, satuan lingual itu adalah peristiwa komunikasi.

Kelima, istilah wacana dioposisikan dengan “ideologi”. Ini banyak dilakukan oleh para linguis kritis. Roger Fowler mengemukakannya sebagai berikut.

Discourse is speech or writting seen from the point of view of the beliefs, values and categories which it embodies; these beliefs etc. constitute a way of looking at the world, an organization or representation of experience—“ideology” in the neutral non-pejorative sense. Different modes of discourse encode different representations of experience; and the source of these representations is the communicative contextm within which the discourse is embedded (Mills, 1997:6).

Pandanan Fowler yang menekankan pada konsep “titik pandang” terhadap pelbagai hal tersirat juga dalam pandangan Jorgensen & Phillips berikut.

Wacana adalah “cara tertentu untuk membicarakan dan memahami dunia (atau satu aspek dunia) ini (Jorgensen & Phillips, 2002:1).

Jika wacana dimaknai dengan ideologi dengan makna yang netral/tidak memihak, atau pandangan dunia (world-view), maka ideologi dapat juga dimaknai dengan wacana dengan makna yang tidak netral , memihak, dan bermakna peyoratif.

3. Tujuh Standar Tekstualitas

Kajian wacana termasuk ke dalam kajian bahasa dalam penggunaannya (Blakemore, 1988:229). Ini berarti bahwa kajian wacana tidak hanya berkenaan dengan kajian kepemilikan representasi kebahasaan, tetapi juga dengan kajian terhadap faktor-faktor nonkebahasaan yang menentukan apakah sebuah pesan tertentu disampaikan melalui penggunaan bentuk lingual dan apakah pesan yang dibawa itu dapat diterima atau tidak dalam kegiatan komunikatif. Pesan yang disampaikan tidak melalui penggunaan bentuk lingual bukan menjadi urusan kajian wacana. Demikian juga, pesan yang tidak dapat diterima dalam kelaziman kegiatan komunikatif juga bukan menjadi kapling kajian wacana. Sebuah teks atau wacana selalu menjalankan fungsinya dalam interaksi antarmanusia (human interaction).

Sebagai sebuah peristiwa komunikatif (communicative occurrence), sebuah teks haruslah memenuhi tujuh standar tekstualitas (de Beaugrande & Dressler, 1986:3), yakni (i) kohesi, (ii) koherensi, (iii) intensionalitas, (iv) keberterimaan (acceptability), (v) informativitas, (vi) situasionalitas, dan (vii) intertekstualitas. Jika ketujuh standar tidak dipenuhi, sebuah teks tidak akan menjadi komunikatif. Teks yang tidak komunikatif diperlakukan sebagai non-texts. Bahkan, secara tegas de Beaugrande & Dressler (1986:11) mengemukakan bahwa tujuh standar tekstualitas itu sebagai constitutive principles, yakni prinsip-prinsip yang bersifat integratif yang bersifat wajib dalam komunikasi tekstual[1].

3.1 Kohesi

Standar pertama tekstualitas adalah kohesi. Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang koheren (Alwi et al., 1993:481). Kohesi berkenaan dengan pelbagai cara di mana komponen-komponen teks lahir (surface text)—misalnya kata-kata aktual yang kita dengar atau lihat—saling berhubungan dalam sebuah urutan (de Beaugrande & Dressler, 1986:3). Pelbagai komponen lahir itu saling bergantung menurut bentuk dan konvensi gramatikal. Contoh (1a) tidak kohesif, sebaliknya contoh (1b) kohesif.

(1a) * Anang Santoso dan anaknya segera berangkat karena ia harus masuk kelas pukul 7.00 pagi.

(1b) Anang Santoso dan anaknya segera berangkat karena mereka harus masuk kelas pukul 7.00 pagi.

Kalimat (1a) tidak kohesif karena ia tidak jelas acuannya: Anang Santoso atau anaknya. Kalimat itu tidak kohesif karena tidak ada perpautan bentuk. Kalimat (1b) kohesif karena mereka jelas acuannya, yakni Anang Santoso dan anaknya. Kalimat itu kohesif karena ada perpautan bentuk. Karena ada kohesi semacam itu, maka kalimat (1b) disebut koheren.

Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dikemukakan beberapa sarana untuk menciptakan kohesi: hubungan antarklausa, pengulangan frasa atau kata, anafora-katafora, dan koreferensi. Enam hubungan antarklausa untuk menciptakan kekohesian dipaparkan berikut. Pertama, hubungan sebab-akibat yang dinyatakan dengan memakai konjungsi sebab, karena, sebab itu, dan karena itu. Kedua, hubungan pertentangan yang dinyatakan dengan memakai konjungsi tetapi, melainkan, dan namun. Ketiga, hubungan pengutamaan yang dinyatakan dengan memakai konjungsi malahan dan bahkan. Keempat, hubungan perkecualian yang dinyatakan dengan memakai konjungsi kecuali. Kelima, hubungan konsesif yang dinyatakan dengan memakai konjungsi walaupun dan meskipun. Keenam, hubungan tujuan yang dinyatakan dengan memakai konjungsi agar dan supaya.

3.2 Koherensi

Standar tekstualitas kedua adalah koherensi. Koherensi berkenaan dengan pelbagai cara di mana komponen-komponen dunia tekstual (textual world)—misalnya susunan “konsep” dan “relasi” yang mendasari teks lahir—saling dapat diterima dan relevan (de Beaugrande & Dressler, 1986:4). Jika kohesi berkenaan dengan perpautan bentuk, koherensi berkenaan dengan perpautan makna. Sebuah konsep dapat diuraikan ketika konfigurasi pengetahuan yang diperoleh kurang lebih menyatu dan konsistensi dengan pikiran. Relasi adalah hubungan antara konsep yang muncul bersama-sama dalam dunia tekstual, setiap hubungan akan melahirkan penandaan konsep yang berhubungan itu. Pada “awas, banyak anak kecil bermain”, “anak kecil” adalah konsep subjek, “bermain” adalah konsep tindakan, “awas” adalah konsep ancaman atau peringatan kepada orang di luar anak kecil, untuk selanjutnya memunculkan relasi “agentif”.

Meskipun kohesi dan koherensi umumnya berpautan, tidaklah berarti bahwa kohesi harus ada agar wacana menjadi koheren. Ada wacana yang ditinjau dari segi teks lahirnya kohesi, tetapi tidak koheren. Demikian juga sebaliknya, ada wacana yang ditinjau dari segi teks lahirnya tidak kohesi, tetapi koheren. Contoh (2) berikut adalah kohesif, tetapi tidak koheren.

(2)

Dengan bantuan pemerintah pejabat itu membeli Mazda baru. Mobil itu berwarna biru. Biru tua menjadi idam-idaman warna mobil pemuda sekarang. Modernisasi memang telah banyak mengubah keadaan dalam waktu singkat. Waktu ini manusia seakan-akan di persimpangan jalan. Jalan ke sorga atau ke neraka rupanya tidak dipedulikan lagi. Sorga dunia dituntutnya dengan itikad neraka yang penuh dengan kebobrokan.

(dikutip dari Samsuri, 1988:46).

Pada contoh (2) kumpulan tampak kekohesian pada Mazda—mobil, warna bitu—biru tua, sekarang—modernisasi, waktu singkat—waktu ini, jalan—jalan, sorga—sorga—neraka. Akan tetapi, apa yang kita dapatkan adalah kekusutan pikiran semata-mata sehingga sukar menggambarkan contoh (2) menjadi sebuah wacana. Sebaliknya, contoh (3) berikut tidak kohesif, tetapi koheren.

(3)

A: Dik, tolong itu teleponnya dijawab.

B : Aduh, lagi tanggung, Mas.

Jika ditinjau dari kata-katanya, tidak ada perpautan antara A dan B. Akan tetapi, kedua kalimat itu adalah koheren karena maknanya berkaitan. Perkaitan itu disebabkan oleh adanya kata-kata yang tersembunyi yang tidak diucapkan. Kalimat B sebenarnya dapat berbunyi “Maaf Mas, saya tidak dapat menjawab telepon itu karena saya lagi tanggung, menggoreng tempe.”

3.3 Intensionalitas

Standar tekstualitas ketiga adalah intensionalitas (intentionality) atau kesengajaan. Jika kohesi dan koherensi berpusat pada teks, intensionalitas berpusat pada pengguna (user) (de Beaugrande & Dressler, 1986:7). Intensionalitas berkenaan dengan sikap penghasil teks (text producer’s) dalam memandang bahwa teks yang dihasilkannya bersifat konstitutif (wajib) untuk mencapai teks yang kohesif dan koheren. Munculnya rumusan tesis atau tujuan secara eksplisit dalam karya ilmiah, misalnya, adalah wujud pemenuhan standar tekstualitas ketiga ini. Dengan demikian, ada kesengajaan penghasil teks dalam memenuhi tujuan itu. Misalnya, penghasil teks bertujuan untuk menyebarkan pengetahuan, memaparkan sebuah konsep baru, meyakinkan penikmat teks tentang suatu hal, mempengaruhi agar para pembaca mengikuti pendapat kita, dan sebagainya.

3.4 Keberterimaan

Standar tekstualitas keempat adalah keberterimaan (acceptability). Standar keempat ini adalah kebalikan dari standar intensionalitas. Keberterimaan, menurut de Beaugrande & Dressler (1986:7) berkenaan dengan sikap penikmat atau penerima teks (text receiver’s) dalam memandang bahwa teks yang dihasilkan oleh penghasil teks yang bersifat konstitutif yang semata-mata untuk mencapai teks yang kohesif dan koheren itu mempunyai kegunaan dan relevansi bagi penikmat. Munculnya rumusan tesis atau tujuan secara eksplisit dalam karya ilmiah, misalnya, memudahkan penikmat atau penerima teks dalam menerima apa yang dihasilkan oleh penghasil teks. Dengan demikian, ada kemudahaan pada diri penerima untuk mengetahui tujuan yang ingin dicapai oleh penghasil teks.

3.5 Informativitas

Standar tekstualitas kelima adalah informativitas (informativity). Menurut de Beaugrande & Dressler (1986:8), informativitas berkenaan dengan tingkatan apakah peristiwa teks yang dihadirkan itu diharapkan atau tidak diharapkan, dikenal atau tidak dikenal. Contoh (4) lebih dikenal dan lebih diharapkan daripada (5).

(4): Capres ABC, bersama kita bisa.

(5) Capres DEF, jujur, adil, dan amanah.

Kedua wacana di atas memenuhi syarat kohesi dan koherensi. Akan tetapi, wacana pada (4) lebih mudah dikenal daripada (5), wacana pada (4) lebih mudah diingat daripada (5), wacana pada (4) lebih diharapkan daripada (5). Pada contoh (4) frasa “bersama kita bisa” lebih mudah dihafal, lebih mudah dikuasai tanpa proses berpikir yang berat atau rumit. Sebaliknya, pada contoh (5) frasa “jujur, adil, dan amanah” relatif lebih sulit dihafal, lebih sulit dipahami karena memerlukan proses berpikir yang lebih berat. Dengan demikian, dengan menggunakan parameter standar kelima ini, wacana pada (4) lebih informatif daripada (5).

3.6 Situasionalitas

Standar tekstualitas yang keenam adalah situasionalitas (situationality). Situasionalitas berkenaan dengan faktor-faktor yang membuat sebuah teks itu relevan dengan situasi kejadian. Contoh (6) berikut lebih sesuai atau relevan dengan situasi daripada contoh (7).

(6)

Ngebut benjut.

(7)

Anda dilarang mengendarai kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi karena dapat membahayakan orang yang berjalan kaki atau anak kecil yang sedang bermain dan apabila Anda tetap ngebut, lalu menabrak orang atau anak kecil, warga sekitar akan marah dan akan memukuli Anda sampai babak belur alias benjut.

Pada contoh (6), wacana yang dibangun dari dua kata yang sering dipasang di gang-gang sempit itu harus menjadi perhatian para pengendara kendaraan bermotor. Para pengendara tentu paham bahwa dua kata itu adalah peringatan, atau bahkan ancaman. Dua kata itu bukan informasi biasa. Pada contoh (7) wacana yang dibangun tampak lebih banyak dan lebih lengkap daripada contoh (6). Wacana yang berupa peringatan atau ancaman itu terasa lebih jelas daripada contoh (6). Akan tetapi, terkait dengan penggunaan bahasa, contoh (6) lebih sesuai dengan situasi daripada (7) meskipun (7) itu lebih jelas dan rinci.

3.7 Intertektualitas

Standar tekstualitas ketujuh adalah intertekstualitas. Standar ini berkenaan dengan faktor-faktor yang membuat pelaksanaan satu teks bergantung pada pengetahuan dari satu atau lebih teks yang dijumpai sebelumnya. Apa yang terdapat dalam makalah ini—misalnya mengutip pandangan pakar sebelumnya—juga menjadi penanda intertekstualitas. Contoh (8) berikut dapat dilacak pada teks sebelumnya.

(8)

W: Bagaimana tanggapan Presiden Gus Dur tentang menteri yang kinerjanya tidak optimal?

GD: Gitu aja kok repot, saya sih gampang aja.[...]

Pada wacana (8) terdapat bahasa GD yang amat terkenal, yakni “Gitu aja kok repot, saya sih gampang aja”. Gaya “menggampangkan suatu urusan” yang begitu populer itu dapat dilacak pada wacana yang dihasilkan GD beberapa tahun sebelumnya, yakni ketika GD menjadi Ketua Umum PB Nahdhatul Ulama. Perhatikan contoh (9) berikut.

(9)

W: Bagaimana tanggapan GD tentang hukum bunga bank. Halal atau haram?

GD: Saya ikut yang halal saja.

Pada contoh (9) gaya “menggampangkan suatu urusan” juga sudah mewarnai apa yang dikemukakan oleh GD. Ternyata, di kemudian hari, wacana serupa juga muncul seperti contoh (10) berikut.

(10)

W: Bagaimana tanggapan GD tentang ancaman MPR yang akan melengserkan Anda, Gus?

GD: Salah sendiri, siapa yang dulu makna milih saya menjadi presiden.

Perlu dikemukakan pada naskah ini bahwa sebuah teks haruslah memenuhi tujuh standar tekstualitas adalah pandangan yang banyak berkembang dalam tradisi linguistik Eropa-Kontinental. Sebaliknya, dalam tradisi linguistik Anglo-Amerika, standar tekstualitas lebih berpusat pada kohesi dan koherensi semata-mata.

4. Prinsip dan Maksim dalam Pragmatik Interpersonal

Bagaimana memenuhi ketujuh standar tekstualitas itu? Bagaimana memenuhi ketujuh standar itu dalam teks yang bersifat interaktif? Ada dimensi etika dan norma untuk bercakap-cakap atau konversasi. Pelaku percakapan haruslah juga menguasai seperangkat norma percakapan. Pelanggaran etika dan norma komunikasi dapat mengakibatkan sesuatu yang tidak diinginkan. Kasus perseteruan antara Jaksa Agung RI dan sejumlah anggota DPR RI beberapa tahun yang lalu menurut saya adalah masalah pelanggaran etika dan norma konversasi itu. Masalah ini termasuk ke dalam bidang pragmatik interpersonal.

Banyak aturan yang harus dipatuhi dalam percakapan, baik menyangkut aspek kebahasaan sampai aspek sosial. Kita dapat mengutip prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan. Kedua prinsip itu mengatur bagaimana orang berkomunikasi. Dalam bidang pragmatik, prinsip kerjasama dari Grice (1975), misalnya, sudah lama digunakan untuk menganalisis percakapan. Meskipun sekarang sudah banyak yang mempertanyakan keakuratan teori itu, dalam pandangan saya teori itu masih relevan dalam konteks tertentu. Prinsip kerjasama Grice dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut.

“Berikan bantuanmu seperti dibutuhkan pada tingkat di mana hal itu terjadi, sesuai dengan tujuan atau arah pertukaran pembicaraan tempat kamu terlibat di dalamnya.”

Dari prinsip kerjasama yang bersifat umum itu selanjutnya dijabarkan ke dalam sub-prinsip yang disebut maksim. Ada empat maksim yang rumusannya secara lengkap dikemukakan berikut (Lihat Brown & Yule, 1983:32).

  1. Maksim kuantitas

“Berikan bantuanmu seinformatif yang dibutuhkan. Jangan memberikan bantuan lebih informatif daripada yang dibutuhkan”.

  1. Maksim kualitas

“Jangan mengatakan sesuatu apabila kamu yakin hal itu salah. Jangan berkata apabila kamu kekurangan bukti yang cukup.”

  1. Maksim hubungan

“Berbicaralah yang relevan.”

  1. Maksim cara

“Sajikanlah dengan jelas”

“Hindarilah ketidakjelasan pernyataan”

“Hindarilah kedwiartian”

“Singkatlah”

“Teraturlah”

Kepatuhan peserta konversasi terhadap prinsip dan maksim akan berujung pada terciptanya komunikasi yang efektif. Sebaliknya, pelanggaran terhadap prinsip dan maksim mengakibatkan terciptanya kesalahpahaman komunikasi, yang berarti tidak tercipta komunikasi yang efektif.

Pertanyaannya adalah “apakah dalam komunikasi semata-mata hanya mengejar keefektifan dan efisiensi komunikasi?” Jawabnya adalah tidak. Terdapat tujuan lain yang juga menjadi bagian integral percakapan, yakni sopan santun percakapan. Dalam konteks ini, kita dapat memanfaatkan prinsip kesantunan Leech (1983:119). Terdapat enam maksim yang rumusannya dikemukakan berikut.

  1. Maksim kebijaksanaan

“Kurangi kerugian orang lain. Tambahi keuntungan orang lain.”

  1. Maksim kedermawanan

“Kurangi keuntungan diri sendiri. Tambahi pengorbanan diri sendiri.”

  1. Maksim penghargaan

“Kurangi cacian pada orang lain. Tambahi pujian pada orang lain.”

  1. Maksim kesederhanaan

“Kurangi pujian pada diri sendiri. Tambahi cacian pada diri sendiri.”

  1. Maksim permufakatan

“Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain”

  1. Maksim simpati

“Kurangi simpati antara diri sendiri dengan orang lain. Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.”

Kepatuhan pelaku percakapan terhadap maksim kesantunan berujung pada hasil komunikasi yang santun, komunikasi yang dapat “meminyaki” relasi sosial, komunikasi yang membuat mitra kita terhormat dan tidak sakit hati, komunikasi yang dapat “menyelamatkan muka”. Sebaliknya, pelanggaran terhadap maksim kesantunan mengakibatkan terciptanya komunikasi yang tidak santun, komunikasi yang dapat meretakkan relasi sosial, komunikasi yang membuat mitra kita terhina dan sakit hati, komunikasi yang dapat “mengancam muka”.

5. Prinsip dan Maksim dalam Pragmatik Tekstual

Jika bagian sebelumnya terkait dengan pragmatik interpersonal—yakni kaidah penggunaan bahasa terkait dengan hubungan antarpribadi—, bagaimanakah prinsip dan maksim untuk pragmatik tekstual? Apa saja yang perlu dipertimbangkan ketika kita membuat karya ilmiah, misalnya, makalah, artikel, atau laporan penelitian? Bagaimana mencapai ketujuh standar tekstualitas pada teks-teks yang noninteraktif? Ada baiknya kita memanfaatkan paparan Leech (1983) sebagai berikut.

  1. Prinsip prosesibilitas: Usahakan agar teks dapat diproses dalam batas waktu kemampuan manusia.

a. Maksim Fokus-akhirà “tonjolkan bagian yang penting sesuai dengan fungsinya, yang memudahkan orang mendekode pesan menjadi satuan-satuan”.

b. Maksim Bobot-akhirà “tempatkan mana yang superordinat dan mana yang subordinat, yang memudahkan orang menentukan peranan tiap-tiap satuan itu”.

c. Maksim Lingkup-akhirà “aturlah bagian mana yang lebih dahulu dan bagian mana yang kemudian, yang memudahkan orang mengurutkan satuan-satuan pesan itu”.

  1. Prinsip kejelasan: Usahakan agar teks itu jelas.

a. Maksim kejernihanà “Usahakanlah suatu hubungan yang langsung dan jelas/jernih antara struktur fonologis dengan struktur semantik (antara pesan dan teks)”

b. Maksim ketaksaanà Hindarilah ungkapan atau tuturan yang taksa.

  1. Prinsip ekonomi: Usahakan agar teks itu singkat dan mudah dipahami

· Maksim reduksià “bila mungkin teks harus dipersingkat”

  1. Prinsip ekspresivitas: Usahakan agar teks itu ekspresif.

· Maksim ikonisitasà “bila perlu tirulah aspek-aspek pesan yang ekspresif dan estetis untuk memberi kejutan, membuat mitra tutur terkesan, atau membangkitkan minat mitra tutur”

Kepatuhan penyusun atau penghasil teks terhadap prinsip-prinsip dalam pragmatik tekstual membuat teks yang dihasilkannya akan mudah dipahami, tidak berbelit-belit, tidak mendua arti, membuat orang lain tertarik, dan tidak bertele-tele. Sebaliknya, pelanggaran terhadap prinsip dan maksim akan menghasilkan teks yang sulit dipahami, berbelit-belit, tidak langsung, mendua arti, tidak sistematis, tidak menarik perhatian penerima, tidak membuat mitra tutur terkesan, tidak membangkitkan minat mitra tutur.

6. Analisis Wacana

6.1 Analisis Wacana Deskriptif

Analisis wacana (AW) adalah cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat atau klausa. Cara pandang dan cara kerja analisis wacana deskriptif, sepengetahuan saya, banyak memanfaatkan pandangan Brown & Yule (1983). Dalam analisisnya, selain memanfaatkan piranti cabang linguistik lain, AW memiliki piranti khusus yang tidak digunakan oleh cabang linguistik lainnya. Di dalam menganalisis suatu ujaran seperti (11) dan (12), misalnya,

(11) Sing ngemek mati

(12) Hati-hati banyak anak

AW akan menginterpretasikan dengan menghubungkannya dengan konteks tempat adanya ujaran (11) dan (12) tersebut, orang-orang yang terlibat di dalam interaksi, pengetahuan umum mereka, kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku di tempat itu, dan sebagainya.

Ujaran (11) pada umumnya ada di gardu listrik. Tentu saja, orang di sekitarnya paham bahwa ujaran itu mempunyai makna tertentu. Ujaran itu bukan informasi aneh. Tidak mungkin kita bertanya “mengapa orang yang tidak hidup dapat memegang sesuatu”. Masyarakat di sekitar paham bahwa ujaran itu adalah peringatan agar tidak memegang listrik tegangan tinggi karena dapat berakibat fatal.

Ujaran (12) pada umumnya ditempatkan di gang-gang sempit. Ujaran itu merupa-kan peringatan kepada pengendara kendaraan bermotor—bukan pejalan kaki—supaya berhati-hati, tidak melaju kencang, sebab di kawasan itu banyak terdapat anak kecil yang sedang bermain-main dan berlalu lalang di jalan. Bagi petugas KB, misalnya, peringatan itu lucu kedengarannya sebab sudah hati-hati, tetapi ternyata masih banyak anak.

Selanjutnya, apa yang harus dipersiapkan oleh seorang analis wacana dalam menganalisis wacana? Secara lebih spesifik, piranti apa saja yang digunakan untuk memahami wacana? Ada beberapa piranti: (i) konteks situasi, (ii) prinsip interpretasi lokal dan analogi, (iii) deiksis, (iv) implikatur, (v) pranggapan, (vi) inferensi, (vii) referensi, (viii) pengetahuan tentang dunia pada umumnya.

Dengan pemahaman konteks, pada ujaran (13) seorang pendengar dapat memahami referensi yang dimaksud pembicara yang menjadi rekan kerja.

(13) Gado-gado meja 3, rawon meja 7, pecel meja 4

Seorang pelayan yang mendengar perintah majikannya memahami bahwa orang yang duduk di meja 3 adalah pemesan gado-gado, dan sebagainya. Jadi, “gado-gado” pada (13) dipahami sebagai “pemesan gado-gado” atau dengan kata lain “pemesan gado-gado” itulah yang merupakan referensi yang dikehendaki oleh kepala pelayan. Demikian juga, ujaran (14) dan (15) berikut bagi seorang ibu rumah tangga sangat jelas apa referensinya.

(14) Bu, ayamnya lepas lagi.

(15) Ayamnya tadi dimasak apa Ti, kok nggak sedang seperti biasanya?

Referensi ayam pada (14) dan (15) berbeda. Kata “lepas” pada (14) mengarahkan pendengar untuk menginterpretasikan ayam sebagai sejenis burung yang dipelihara karena telur atau dagingnya. Kata “dimasak” pada (15) mengarahkan pendengar untuk menginterpretasikan bahwa ayam yang dimaksud bukan ayam seperti (14) yang masih hidup, tetapi ayam yang sudah disembelih, yang sudah dibersihkan bulu-bulunya, dan ayam yang sekarang sudah dimasak. Demikian juga, ayam pada contoh (16) memiliki referensi yang tidak sama.

(16)

Ayam1 dicuci sampai bersih lalu dipotong-potong. Taruh ayam2 itu di dalam wajan. Semua bahan bumbu ditumbuk halus. Setelah itu tuangkan 1 gelas air pada bambu dan aduk sampai rata. Tuangkan bumbu itu pada ayam3. Tutup wajannya dan rebus sampai airnya habis. Selama merebus, ayam4 perlu diaduk sesekali agar bumbunya merata. Setelah airnya habis, angkat dan tiriskan ayam5 itu. Setelah itu gorenglah. Minyak untuk menggoreng harus banyak dan panas. Jika ayam6 sudah berwarna kuning angkat dengan serok yang halus.

(dikutip dari Martutik, 2001:31)

Kata ayam (1—6) pada (16) memiliki referensi yang tidak sama. Ayam pada (1) merujuk pada ‘ayam yang sudah disembelih, sudah dibului’, sedangkan ayam pada (2) merujuk pada ‘ayam yang sudah disembelih, sudah dibului, dan sudah dipotong-potong. Referensi ayam pada (3), (4), (5), dan (6) tentu saja berbeda.

Bab terakhir dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia sudah cukup memberikan informasi bagaimana menganalisis wacana bahasa Indonesia, khususnya yang berperspektif deskriptif. Piranti-piranti wacana, seperti konteks wacana, kohesi dan koherensi, referensi, inferensi, dan sebagainya yang dipaparkan dalam buku itu cukup tepat untuk menganalisis wacana bahasa Indonesia. Dalam pandangan deskriptif, wacana lebih banyak dipandang sebagai fenomena lingual semata-mata. Pada tahap selanjutnya, bagaimana kita menganalisis wacana politik, wacana gender, wacana media massa, dan wacana-wacana publik lainnya yang penuh dengan muatan ideologis tersembunyi? Apakah kita tepat menggunakan pisau bedah “analisis wacana” yang bersifat deskriptif itu? Adakah analisis wacana yang lain yang “lebih tepat/cocok” untuk menganalisis wacana publik itu?

6.2 Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana kritis dianggap lebih cocok untuk mengalisis wacana publik. Tiga istilah penting perlu dipahami dalam analisis wacana publik: wacana institusi, linguistik kritis, dan analisis wacana kritis.

Wacana Institusi.

Istilah wacana institusi (institutional discourse) ditemukan antara lain dalam Fowler (1991), Wodak (1996), Thornborrow (2002). Habermas memerikan “tuturan institusi” sebagai contoh wacana strategis, yang dibedakan dari bentuk tuturan lainnya, yakni wacana komunikatif. Wacana strategis adalah wacana yang bermuatan kekuasaan (power laden) dan diatur oleh tujuan (goal-directed), sementara wacana komunikatif adalah wacana yang di dalamnya ada hubungan simetris antarpenutur dalam mencapai kesepahaman antarpenutur itu (Thornborrow, 2002:2). Dalam wacana strategis, hubungan antarpenuturnya bersifat tidak simetris, tidak sejajar, dalam hak, kewajiban, dan akses dalam distribusi kekuasaan dan status sosial. Dalam konteks ini, wacana jender adalah wacana strategis (wacana institusi) di mana perempuan tidak memiliki hak, kewajiban, dan akses yang seimbang dengan laki-laki dalam pembentukan dan penafsiran wacana-wacana publik.

Kress (1985) berpendapat bahwa setiap institusi sosial menghasilkan cara-cara atau modus-modus bertutur tertentu tentang area kehidupan sosial tertentu yang berhubungan dengan tempat dan hakikat institusi tertentu. Institusi politik, keagamaan—termasuk jender—menghasilkan modus bertutur tertentu yang khas. Tiga hal penting dari tuturan yang terjadi dalam latar institusi, seperti dikemukakan Levinson, adalah (i) berorientasi pada tujuan atau tugas, (ii) terkendala dalam jumlah kontribusi ke arah tujuan dan tugas itu, dan (iii) menghasilkan jenis inferensi tertentu pada diri penginterpretasi atau berorientasi pada ujaran (Thornborrow, 2002:2). Kress (lihat Fowler, 1996:7) menguraikan apa yang disebut kelompok pascastrukturalis sebagai posisi yang berhubungan dengan pembaca/penulis wacana.

“Wacana merupakan seperangkat pernyataan yang diorganisasikan secara sistematis yang memberikan sejumlah ekspresi makna dan nilai institusi. Sebuah wacana menyediakan seperangkat pernyataan-pernyataan yang mungkin tentang area yang ada dan mengorganisasikan serta memberikan struktur kepada cara di mana topik, objek, dan proses tertentu dibicarakan.”

Linguistik Kritis.

Linguistik kritis merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan mengungkap relasi-relasi kuasa tersembunyi (hidden power) dengan proses-proses ideologis yang muncul dalam teks-teks lisan atau tulisan (Crystal, 1991:90). Analisis linguistik belaka diyakini tidak dapat mengungkapkan signifikansi kritis. Menurut Fowler (1986:6) hanya analisis kritis yang merealisasikan “teks sebagai modus wacana” serta memperlakukan teks sebagai wacana yang akan dapat melakukannya. Linguistik kritis mengarahkan teori bahasa ke dalam fungsi-fungsi yang sepenuhnya dan dinamik dalam konteks historis, sosial, dan retoris.

Analisis teks bahasa dalam linguistik (struktural) tradisional berangkat dari pandangan bahwa (i) struktur bahasa—entah bagaimana—dapat dipisahkan dari penggunaan bahasa, dan (ii) komunitas bahasa tertentu memiliki gramatika bahasa tertentu yang ada sebelum proses-proses sosial (pre-exits social processes) (Birch, 1996:67). Pandangan yang berakar dari tradisi empirisme dan positivisme logis yang diagung-agungkan oleh Lingkaran Wina itu akan berimplikasi pada dua hal: (i) bahasa itu terpisah dari masyarakat pemakainya, dan (ii) bahasa serta pemakaiannya dalam masyarakat relatif ad hoc dan sering arbitrer dalam pembuatan maknanya.

Menurut Birch (1996:67—68) terdapat persoalan dalam pandangan tradisional di atas sebab bentuk-bentuk bahasa yang kita gunakan tidaklah secara bebas dipilih. Individu sering berada pada situasi yang terkendala atau terdeterminasi oleh struktur sosial yang melingkupinya. Menurut Birch (1996) para linguis beraliran kritis yakin bahwa pilihan bahasa (language choice) dibuat menurut seperangkat kendala (constraints) politis, sosial, kultural, dan ideologi. Implikasinya adalah bahwa masyarakat dapat dimanipulasi, ditahan dalam aturan yang baik (good order) yang dikehendaki, dan dinilai peran serta statusnya ke dalam dikotomi bawahan-atasan (inferior-superior) melalui sistem strategi sosial yang melibatkan aspek-aspek kekuasaan, aturan, subordinasi, solidaritas, kohesi, antagonisme, kesenangan, dan sebagainya, yang semuanya merupakan bagian integral dari sistem pengontrolan terhadap individu dan masyarakat.

Dalam hubungannya dengan makna struktur linguistik, sesuatu yang amat fundamental dalam pandangan Fowler (1986) dan Fairclough (1989) adalah terdapatnya fungsi hubungan antara konstruksi tekstual dengan kondisi-kondisi sosial, institusional, dan ideologis dalam proses-proses produksi serta resepsinya. Struktur-struktur linguistik digunakan untuk mensistematisasikan dan mentransformasikan realitas. Oleh karena itu, dimensi kesejarahan, struktur sosial, dan ideologi adalah sumber utama pengetahuan dan hipotesis dalam kerangka kerja kritisisme linguistik (Fowler, 1986:8).

Beberapa tokoh linguistik kritis, seperti Fowler (1985; 1986; 1996), Fairclough (1985; 1989; 1995), Kress (1985), Sykes (1985), van Dijk (1985; 2001), West & Zimmerman (1985), Birch (1996), dan Wodak (1996) memandang bahwa fenomena komunikasi dan interaksi yang “nyata” lebih banyak diwarnai oleh adanya fenomena-fenomena ketidakteraturan, kesenjangan, ketidakseimbangan, perekayasaan, dan ketidaknetralan dari isu-isu ketidakadilan dalam gender, politik, ras, media massa, kekuasaan, dan komunikasi lintas budaya. Wacana yang lahir lebih banyak berkutat dengan persoalan sosial-politik dan jauh meninggalkan wacana-wacana akademis yang “ideal”. Menurut van Dijk (1985:7) fitur-fitur wacana hanyalah menjadi “gejala” (symptoms) dari persoalan-persoalan yang lebih besar, seperti ketidakadilan, perbedaan kelas, gender, rasisme, kekuasaan, dan dominasi yang melibatkan lebih dari hanya sekedar teks dan tuturan. Dengan demikian, menganalisis kata, frasa, kalimat, dan teks yang dihasilkan oleh seorang tokoh dapat mengungkap persoalan-persoalan yang lebih besar dan mendasar.

Linguistik kritis amat relevan digunakan untuk menganalisis fenomena komunikasi yang penuh dengan kesenjangan, yakni adanya ketidaksetaraan relasi antarpartisipan, seperti komunikasi dalam politik, relasi antara atas-an-bawahan, komunikasi dalam wacana media massa, serta relasi antara laki-laki dan perempuan dalam politik gender. Menurut Fowler (1996:5) model linguistik ini sangat memperhatikan penggunaan analisis linguistik untuk membongkar misrepresentasi dan diskriminasi dalam pelbagai modus wacana-wacana publik. Beberapa karya Santoso (2003; 2006; 2008), misalnya, banyak memanfaatkan pandangan kritis dalam ilmu bahasa dalam mengaalisis wacana politik dan wacana gender.

Prosedur Analisis Wacana Kritis (AWK).

Wacana adalah penggunaan bahasa yang dipahami sebagai praksis sosial (Fairclough, 1995:135). Wacana—dan banyak contoh praksis diskursif tertentu—dalam pandangan Fairclough harus dilihat secara simultan sebagai (i) teks-teks bahasa, baik lisan atau tulisan, (ii) praksis kewacanaan, yaitu produksi dan interpretasi teks, dan (iii) praksis sosiokultural, yakni perubahan-perubahan masyarakat, institusi, kebudayaan, dan sebagainya yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana. Ketiga unsur itu menurut Fairclough disebut dengan “dimensi wacana”. Menganalisis wacana secara kritis hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana tersebut secara integral. Ketiga dimensi itu sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Analisis Teks Bahasa. Dalam pandangan kritis, teks dibangun dari sejumlah piranti linguistik yang di dalamnya tersembunyi ideologi dan kekuasaan. Dalam penerapannya, AWK banyak memanfaatkan piranti linguistik yang disarankan dalam linguistik fungsional-sistemik Halliday (1985; 1994) dan linguistik kritis Fowler (1986) untuk memerikan (to describe) kepemilikan struktur linguistik dalam teks bahasa. Dalam tahap pemerian ini berupa analisis terhadap (i) kosakata, (ii) gramatika, dan (iii) struktur teks.

Analisis Praksis Kewacanaan. Praksis kewacanaan berkaitan dengan produksi dan interpretasi proses-proses diskursif. Analisis tahap kedua AWK ini berupa tahap menginterpretasikan (to interpret) relasi antara produksi dan interpretasi proses-proses diskursif itu. Dua hal yang menjadi lahan adalah (i) interpretasi teks, dan (ii) interpretasi konteks. Dalam interpretasi teks ada empat level ranah interpretasi, yakni (i) bentuk lahir tuturan, (ii) makna ujaran, (iii) koherensi lokal, (iv) struktur teks dan poin. Dalam interpretasi konteks ada dua level interpretasi, yakni (i) konteks situasional, dan (ii) konteks antarteks.

Analisis Praksis Sosiokultural. Hubungan antara teks dan struktur sosial dimediasikan oleh konteks sosial wacana. Wacana akan menjadi nyata, beroperasi secara sosial, sebagai bagian dari proses-proses perjuangan institusional dan masyarakat. Analisis tahap ketiga AWK ini berupa tahap menjelaskan (to explain) relasi fitur-fitur tekstual yang heterogen beserta kompleksitas proses wacana dengan proses perubahan sosiokultural, baik perubahan masyarakat, institusional, dan kultural. Menurut Fairclough (1989: 163) tujuan tahap eksplanasi ialah “memotret” wacana sebagai bagian proses sosial, sebagai praksis sosial, yang menunjukkan bagaimana wacana itu ditentukan oleh struktur sosial dan reproduktif apa saja yang mempengaruhi wacana yang secara kumulatif memakai, menopang, atau mengubah struktur-struktur itu.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, H., Dardjowidjojo, D., Lapoliwa, H., & Moeliono, A.M. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi kedua. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Birch, D. 1996. Critical Linguistics as Cultural Process. Dalam James, J.E. (Ed.), The Language-Culture Connection (hlm. 64—85). Singapore: SEAMEO Regional Language Centre.

Brown, Gillian & Yule, George. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.

Crystal, David. 1991. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. Third edition. Oxford: Basil Blackwell Ltd.

de Beaugrande, R.A. & Dressler, W.U. 1986. Introduction to Text Linguistics. Third Edition. Harlow-Essex: Longman Group Limited.

Fairclough, N. 1985. Critical and Descriptive Goals in Discourse Analysis. Journal of Pracmatics, 9: hlm. 739—763.

Fairclough, N. 1989. Language and Power. New York: Longman Group UK Limited.

Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Harlow-Essex: Longman Group Limited.

Fowler, R. 1986. Linguistic Criticsm. Oxford: Oxford University Press.

Fowler, R. 1991. Language in the News: Discourse and Ideology in the Press. London & New York: Routledge.

Fowler, R. 1996. On Critical Linguistics. Dalam Caldas-Coulthard, C.R. & Coulthard, M. (Eds.), Texts and Practices: Reading in Critical Discourse Analysis (hlm. 3—14). London: Routledge.

Halliday, M.A.K. 1985/1994. An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold Publishers Ltd.

Jorgensen, M.W. & Phillips, L.J. 2002. Discourse Analysis as Theory and Method. London: SAGE Publications.

Kress, G. 1985. Ideological Structures in Discourse. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 27—42). London: Academic Press.

Kridalaksana, H. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Leech, G. 1983. Principles of Pragmatics. Harlow-Essex: Longman Group UK Limited.

Martutik. 2001. Referensi dan Inferensi Wacana Bahasa Indonesia. Vokal: Telaah Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 11(2): hlm. 29—42.

Mills, Sara. 1997. Discourse. London & New York: ROUTLEDGE.

Samsuri. 1987/1988. Analisis Wacana. Malang: Penyelenggaraan Pendidikan Pascasarjana, Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi, IKIP Malang.

Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra (WWS).

Santoso, Anang. 2006. Konstruksi Ideologi dalam Bahasa Perempuan: Analisis Wacana Kritis Menuju Pemahaman (Understanding) terhadap Perempuan. Laporan Penelitian Hibah Fundamental, DP2M, Ditjen Dikti, Depdiknas. Malang: Lembaga Penelitian, Universitas Negeri Malang.

Santoso, Anang. 2008. Bahasa Perempuan: Sebuah Ideologi Perjuangan. Jakarta: Penerbit Bumiaksara (dalam proses penerbitan).

Stubbs, Michael. 1983. Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural Language. Chicago: The University of Chicago Press.

Sykes, M. 1985. Discrimination in Discourse. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 83—101). London: Academic Press.

Thornborrow, J. 2002. Power Talk: Language and Interaction in Institutional Discourse. London & New York: Longman.

van Dijk, T. 1985. Introduction: The Role of Discourse Analysis in Society. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 1—8). London: Academic Press.

van Dijk, T. 2001. Principles of Critical Discourse Analysis. Dalam Wetherell, M., Taylor, S., & Yates, S.J. (Eds.), Discourse Theory and Practice: A Reader (hlm. 300—317). London: SAGE Publications Ltd.

West, C. & Zimmerman, D.H. 1985. Gender, Language, and Discourse. Dalam van Dijk, T.A. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 103—124). London: Academic Press.

Wodak, R. 1996. Disorders of Discourse. London & New York: Longman.



[1] Komunikasi tekstual dibedakan dari komunikasi interpersonal. Yang pertama terkait dengan fungsi tekstual, yakni fungsi bahasa sebagai alat untuk mengkonstruksi atau menyusun sebuah teks—di mana teks dimaknai dengan contoh bahasa lisan dan tulisan. Yang kedua terkait dengan fungsi interpersonal, yakni fungsi bahasa untuk mengungkapkan sikap penutur dan pengaruhnya pada sikap dan perilaku mitra tutur (lihat Leech, 1983:86).

BAHASA SEBAGAI MEDIA KEKUASAAN: MENGGUGAT KEKERASAN SIMBOLIK DALAM WACANA PUBLIK

Anang Santoso

Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang

Kekuasaan adalah konsep penting dalam setiap kajian fenomena sosial. Kekuasaan amat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Kekuasaan sering diwujudkan melalui bahasa, bahkan dilaksanakan melalui bahasa. Bahasa digunakan oleh si kuat untuk mendominasi si lemah. Bahasa sering hanya mewakili kelompok dominan. Label-label yang diberikan terhadap sebuah objek atau kejadian sering menimbulkan sesuatu yang tidak baik bagi konsumen teksnya. Sebaliknya, kelompok subordinat sering merasa tertindas oleh pelabelan itu. Mencullah apa yang disebut dengan kekerasan simbolik, yakni bentuk kekerasan yang halus dan tidak tampak yang di baliknya tersembunyi praktik dominasi. Untuk itu, karena setiap penggunaan bahasa dalam wacana publik sering terjadi penyalahgunaan atau penyelewengan, sikap selalu kritis harus dikedepankan dalam mengkonsumsi wacana publik.

Saya mengucapkan terima kasih kepada panitia yang telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk berbicara seputar “bahasa sebagai media kekuasaan”. Tentu saja, saya mengapresiasi tema yang diangkat dalam forum ini, sebuah tema yang tidak saja menjadi urusan bidang kebahasaan semata-mata, tetapi juga bidang ilmu komunikasi massa, ilmu politik, ilmu sosial, juga para praktisi yang semakin merasakan bahwa bahasa itu penting. Meskipun begitu, saya tidak akan berbicara dari pelbagai segi. Sesuai dengan latar belakang pendidikan saya dan bidang yang selama ini saya geluti, saya hanya akan berbicara dari perspektif kritis kebahasaan.

Saya menduga, para perancang tema ini sadar dan sesadar-sadarnya memandang bahwa bahasa sering didayagunakan untuk kepentingan kekuasaan. Bahwa persoalan bahasa bukan semata-mata persoalan linguistik, tetapi persoalan bahasa sudah merambah ke seluruh bidang kehidupan manusia. Relasi lingual tidak lagi dimaknai sebagai relasi kebahasaan semata-mata. Relasi lingual haruslah dimaknai dengan relasi kekuasaan, relasi ideologi, relasi ekonomi, dan sebagainya.

SENTRALITAS KONSEP KEKUASAAN

Satu konsep penting yang selalu dikedepankan dalam setiap kajian fenomena-fenomena sosial adalah konsep tentang kekuasaan. Kekuasaan adalah konsep abstrak, tetapi sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita. Pengaruh kekuasaan itu tampak mulai dari hubungan pribadi dua orang sampai hubungan yang luas dalam sistem kenegaraan dan organisasi dunia. Dalam dialog antarpribadi, misalnya, mengapa seseorang sedikit melakukan pengambilan giliran (turn-taking), salah satu penyebabnya adalah persoalan kekuasaan. Dalam relasi antarnegara, mengapa Amerika Serikat memperoleh hak-hak istimewa dalam pelbagai pengambilan keputusan, faktor penyebab yang paling signifikan adalah persoalan kekuasaan.

Dua pertanyaan dari Fuocault terkait dengan kekuasaan perlu kita renungkan. Pertanyaan pertama, “apakah kekuasaan itu dan dari manakah asal kekuasaan.” Berbeda dengan Marx yang memandang kekuasaan itu miliki kelas penguasa atau borjuis, Foucault memandang kekuasaan bukan milik kelas penguasa. Kekuasaan adalah sebuah wilayah strategis, tempat terjadinya hubungan yang tidak setara antara si kuat dan si lemah: “di mana ada kekuasaan di situ ada perlawanan.” Ada hubungan yang asimetris antara penghasil teks dan konsumen teks. Rumusan lain menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kekuatan dalam masyarakat yang membuat tindakan terjadi sehingga dengan menelitinya kita dapat mengenali siapa yang mengendalikan apa dan demi kepentingan siapa.

Perlu ditekankan bahwa dalam pandangan Foucault kekuasaan tidak melulu—atau tidak boleh selalu—dianggap sebagai sarana negatif, sesuatu yang menolak, sesuatu yang menekan, sesuatu yang menegasikan, sebaliknya kekuasaan adalah sesuatu yang produktif. Foucault memaparkannya sebagai berikut.

Kita harus menghentikan penggambaran kekuasaan dan pengaruhnya sebagai sesuatu yang negatif, membuang, menekan, memberangus, menyensor, abstrak, menutupi, dan menyembunyikan. Kita harus mulai menggambarkan bahwa kekuasaan itu produktif, produktif dalam pengertian menciptakan, menghasilkan, dan melahirkan realitas, wilayah objek, dan ritual kebenaran.

Pertanyaan kedua, “bagaimana kekuasaan itu dijalankan dan bagaimana pengaruhnya”. Jika pertanyaan ini dikaitkan dengan wacana politik, misalnya, pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah bagaimana pemerintah atau rezim yang berkuasa atau partai politik menjalankan kekuasaannya dan bagaimana pengaruhnya kepada masyarakat atau konstituennya. Dalam negara demokrasi, kita sebagai warga negara memberikan hak kepada para elite politik untuk membuat hukum atas nama kita dan jika kita melanggar hukum itu, kita akan dihukumnya. “Kekuasaan politik” mengendalikan banyak aspek dalam kehidupan kita, seperti besarnya pajak yang kita bayar, besarnya kita harus membayar pendidikan, dan sebagainya.

Jika pertanyaan ini dikaitkan dengan wacana jurnalistik, pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah bagaimana redaktur surat kabar sebagai kepanjangan pemilik modal menjalankan kekuasaannya dalam relasinya dengan pembaca dan bagaimana pengaruh cara pandang redaktur terhadap pembacanya. Jika pertanyaan ini dikaitkan dengan wacana jender, pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah bagaimana superordinat relasi jender—yang pada umumnya laki-laki—menjalankan kekuasaannya dan bagaimana pengaruh superordinat laki-laki terhadap perempuan.

HUBUNGAN ANTARA KEKUASAAN DAN BAHASA

Bagaimana hubungan antara kekuasaan dan bahasa? Kekuasaan sering ditunjukkan melalui bahasa, bahkan kekuasaan juga diterapkan melalui bahasa.

Bahasa sering menjadi aparatus hegemoni dari sebuah sistem kekuasaan melalui dua cara. Pertama, ketika ia tidak memberi ruang hidup bagi bahasa-bahasa lain—yang bersifat plural—karena dianggap sebagai ancaman. Kedua, ketika ia digunakan untuk menyampaikan informasi—atau versi informasi—yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan.

Dalam pertarungan simbolik selalu terdapat kekuatan-kekuatan untuk memberi nama yang diakui secara resmi, memonopoli visi yang sah terhadap dunia sosial dan memaksa pandangan suatu kelompok atas kelompok lain. Dalam pertarungan simbolik itu kompetisi antarpelaku sosial pada umumnya bertujuan memeroleh kekuasaan. Kekuasaan yang dituju berupa kekuasaan untuk mengontrol persepsi, pandangan, visi, dan juga cara pandang seseorang maupun kelompok sosial. Ajang perebutan memperoleh kekuasaan haruslah dimaknai sebagai upaya untuk memproduksi dan menampilkan “pandangan dunia” (world-view) yang paling diakui, yang paling benar, yang paling sah. Kekuasaan pembentuk dunia melalui pandangan yang paling sah inilah yang disebut dengan kekuasaan simbolik (simbolic power). Kekuasaan simbolik ialah kekuasaan yang tak tampak dan hanya dikenali dari tujuannya untuk memperoleh kekuasaan. Kekuasaan simbolik bekerja dengan menggunakan simbol-simbol sebagai instrumen “pemaksa” terhadap kelompok subordinat yang turut berperan mereproduksi tatanan sosial sesuai dengan keinginan kelompok dominan.

BAHASA DAN MASALAH PELABELAN

Merujuk pada pandangan klasik strukturalisme Saussure, sebagai sistem tanda, setiap tanda bahasa dibangun dari dua tanda, yakni (1) penanda (signifier), yakni apa yang disebut sebagai “label”, dan (2) petanda (signified), yakni apa yang disebut sebagai “makna”, “konsep”, atau “ide”. Tanda bukan label semata dan juga bukan konsep semata-mata. Tanda adalah gabungan dari label dan konsep tempat keduanya terikat menjadi satu.

Jika kita menerima teori ini, maka ada beberapa konsekuensi penting yang ditimbulkannya. Ini berarti bahwa cara kita menggunakan bahasa akan mempengaruhi cara kita berpikir karena ada hubungan yang tak terpisahkan antara konsep kita tentang sesuatu dan bahasa yang kita gunakan untuk mewakilinya. Dengan kata lain, bahasa dapat mempengaruhi persepsi kita tentang realita.

Pada umumnya, masyarakat awam memahami hubungan antara label (penanda) dengan konsep dalam pikiran kita (petanda) sebagai sesuatu yang alami, wajar, dan tidak terpisahkan. Pikiran yang tidak kritis ini masih mendominasi kita. Padahal, hubungan antara label dan konsep itu tidaklah begitu alami dan tidak wajar. Setiap komunitas memberikan label yang tidak sama, beragam, dan menunjukkan kekhasannya.

Dalam penggunaan bahasa yang luas, masalah pelabelan menjadi masalah bagi kita semua. Pelabelan membentuk realitas lewat bahasa. Realitas itu diterima begitu saja oleh penutur. Penutur tidak pernah bersikap kritis mengapa label tertentu yang digunakan.

Pelabelan sering menimbulkan masalah yang tentu saja bagi penikmat bahasa, antara lain meliputi (1) sifat negatif, (2) penopengan, (3) sarkasme, (4) kesan menganggap remeh, (5) penghinaan, (6) salah-tafsir, (7) hiperbola atau melebih-lebihkan, dan (8) kesan lugu serta tidak berbahaya. Beberapa contoh pelabelan yang perlu dikritik dipaparkan berikut.

Pertama, pelabelan yang menimbulkan sifat negatif. Beberapa kasus penggunaan bahasa menunjukkan adanya kesan sifat negatif. Penggunaan sebutan “Indon” bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia menimbulkan kesan negatif. TKI—yang notabene adalah warga negara Indonesia—memperoleh kesan “bodoh”, “kasar”, “ilegal”, “tidak berkelas”, dan sebagainya.

Kedua, pelabelan yang menimbulkan penopengan. Penggunaan bahasa jenis kedua ini bertujuan adalah menyembunyikan realitas. Pada wacana politik Orde Baru, misalnya, mantan Presiden Soeharto sering melabeli keluarga miskin di Indonesia dengan “keluarga prasejahtera”, “prasejahtera I”, dan “keluarga prasejahtera II”. Tentu saja, ketiga label itu merujuk kepada petanda yang sama, yakni ‘keluarga miskin’. Kasus bencana Lapindo Brantas dapat memberikan pelajaran kepada kita. DPR melabeli peristiwa itu dengan “bencana alam”, sebaliknya masyarakat pada umumnya melabeli itu dengan “bencana akibat kecerobohan pengeboran”. Sudut pandang yang berbeda ini akan berimplikasi terhadap pelbagai hal tindak lanjutnya, salah satunya adalah masalah siapa yang memberikan ganti rugi.

Ketiga, pelabelan yang menimbulkan kesan sarkasme. Sarkasme itu berarti ‘kasar’. Label “kudatuli” untuk peristiwa penyerangan PDI Soerjadi—yang didukung oleh pemerintah yang sedang berkuasa pada waktu itu—menimbulkan kesan kasar. Label itu merupakan hasil dari akronimisasi dari frasa ‘kudeta dua puluh tujuh Juli’. Label “kudatuli” secara lingual dibentuk dari kata “kuda” dan “tuli”. Kedua kata itu jika digabung menimbulkan kesan ‘kasar’ dan ‘menakutkan’ bagi pendengarnya. Demikian juga dengan penggunaan label “Gestapu” untuk peristiwa Gerakan 30 S/PKI (?). Label Gestapu diperjuangkan oleh Soeharto, sebaliknya Soekarno memberikan label Gestok. Mengapa berbeda? Inilah urgennya masalah pelabelan. Soeharto melabeli peristiwa itu dengan Gestapu untuk menggiring pemahaman masyarakat bahwa peristiwa itu mengingatkan pada pasukan Hitler yang terkenal kejam, yakni Gestapo. Demikian juga, ungkapan anggota DPR kepada Jaksa Agung bahwa “Anda seperti seorang ustad di kampung maling” bernada sarkasme.

Keempat, pelabelan yang menimbulkan kesan meremehkan orang lain. Kasus penggunaan bahasa pada era Presiden Gus Dur dapat dijadikan contoh. Ungkapan “gitu aja kok repot” dapat menimbulkan kesan meremehkan orang lain.

Kelima, pelabelan yang menimbulkan penghinaan kepada orang lain. Ungkapan “DPR seperti anak TK” mengandung implikasi makna menghina orang lain. Demikian juga, ungkapan “anjing menggonggong kafilah berlalu”. Pada suatu ketika, setelah salah seorang Presiden menggunakan ungkapan tersebut dan disiarkan melalui TVRI, salah seorang penelepon dari Sumatera Barat menghubungi TVRI untuk menyatakan keberatannya atau memprotes ungkapan itu.

Keenam, pelabelan yang dapat menimbulkan kesalahan tafsir. Soeharto pernah mengancam para kelompok kritis dengan ungkapan “yang tidak konstitusional akan saya gebug”. Oleh Feisal Tanjung, Panglima Angkatan Bersenjata pada waktu itu, ditafsirkan bahwa gebug itu artinya ‘tembak di tempat’.

Ketujuh, pelabelan yang menimbulkan kesan melebih-lebihkan. Ungkapan elite partai politik tertentu yang menyebutkan bahwa “berbicara demokrasi Indonesia sama dengan berbicara kehancuran” adalah terlalu melebih-lebihkan. Ungkapan itu tidak sesuai dengan realitas.

Kedelapan, pelabelan yang menimbulkan kesan lugu dan tidak berbahaya. Label wedhus gembel yang ditujukan kepada “lava Gunung Merapi di Jawa Tengah” menimbulkan kesan bahwa bencana itu tidak berbahaya dan bersahabat. Demikian juga label little boy yang bermakna ‘bocah laki-laki kecil’ untuk bom atom, label cookie cutter yang bermakna ‘pisau kue’ untuk bom neutron, dan label cruise yang bermakna jelajah’ dan ‘kapal pesiar’ untuk senjata nuklir menimbulkan kesan lugu dan tidak berbahaya. Padahal, kita semua tahu bahwa yang namanya bom dan senjata pastilah berbahaya.

Perlu dipahami bahwa budaya satu berbeda dengan budaya lainnya. Perbedaan budaya berpengaruh terhadap perbedaan perspektif atau cara memandang sesuatu. Perbedaan perspektif ini merupakan potensi tidak saling mengerti dan salah paham dalam komunikasi. Teori relativitas linguistik memberikan jawaban untuk fenomena tersebut. Menurut teori ini, tiap-tiap budaya akan menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda. Perbedaan cara menafsirkan dunia itu terkodekan melalui bahasa. Tidak ada cara yang mutlak atau alami secara absolut dalam memberikan label.

Bahasa dan Konstruk Pengetahuan

Edward Said menunjukkan bagaimana wacana Barat tentang Timur (orientalisme) bisa dijadikan contoh suatu konstruk “pengetahuan” tentang timur yang diciptakan Barat dan suatu bentuk hubungan antara “kekuasaan pengetahuan” yang mengartikulasikan kepentingan “kekuasaan Barat”. Said mengikuti jejak Foucault dengan mengatakan bahwa “kebenaran” suatu wacana bergantung pada apa yang dikatakan, terutama siapa yang menyatakan, kapan, di mana ia menyatakannya. Kebenaran suatu wacana bergantung pada konteks. Edward Said mengkritik pernyataan Barat tentang Timur. Pernyataan yang berbunyi

“Timur adalah temuan orang-orang Eropa”

adalah salah satu cara bagaimana orientalisme menggunakan kalimat dan istilah-istilah untuk menggambarkan hubungan antara Eropa dan Timur, terutama cara “Timur” membantu mendefisikan Eropa (atau Barat) sebagai sebuah citra, ide, kepribadian, dan pengalaman yang bertentangan. Budaya Eropa memperoleh kekuasaan dan identitasnya dengan memosisikan dirinya bertentangan dengan Timur.

Hal senada dengan cara kaum kolonial Eropa mendefinifikan relasi Eropa-Indian atau penduduk pribumi di Amerika. Pernyataan yang selalu muncul dalam buku-buku sejarah:

“Christopher Columbus menemukan Amerika”

adalah cara yang jitu bagaimana kaum kolonial Eropa menggambarkan “Amerika” dari sudut pandang Eropa, bahwa Amerika itu ada atas jasa orang Eropa, bahwa Amerika adalah daerah yang pernah hilang dan ditemukan oleh orang Eropa, dan sebagainya. Pernyataan yang tampak “normal” dan “wajar” dari si penguasa—khususnya pada pilihan kata kerja “menemukan”—terus-menerus dinaturalisasikan untuk membentuk citra tertentu. Bagi sudut pandang pribumi Amerika—yakni si lemah—kedatangan Columbus bukan sebuah “penemuan” terhadap tanah mereka, melainkan sebuah awal dari sebuah proses hilangnya kemerdekaan yang berdampak sangat besar pada masa sesudahnya. Namun, sampai sekarang hanya versi-versi kejadian yang menyajikan perspektif dari kelompok yang lebih berkuasa saja yang ada dalam buku-buku sejarah. Bahasa sering mencerminkan “kebenaran” dari kelompok yang lebih dominan dan menyembunyikan “kebenaran” dari kelompok yang kurang dominan.

Kajian Bahasa Pascastrukturalisme: dari Bahasa ke Wacana

Kaum strukturalis memfokuskan kajiannya bagaimana sistem bahasa—dan sistem lain yang analog dengan bahasa, seperti musik, mode baju—menentukan hakikat linguistik dan ekspresi budaya. Sebaliknya, kaum pascastrukturalis lebih tertarik pada bagaimana bahasa digunakan dan bagaimana penggunaan bahasa diartikulasikan dalam suatu praktik budaya dan praktik sosial. Penggunaan bahasa dan praktik budaya secara umum dilihat sebagai hal yang bersifat “dialogis” dan rawan konflik ketika satu modus penggunaan bahasa berhadapan dengan penggunaan bahasa yang lain atau pun teks dan praktik budaya yang lain.

Dalam konteks ini bahasa tidak lagi dipahami sebagai langauage, sebaliknya bahasa dipahami sebagai wacana (discourse), yakni cara pandang tertentu terhadap realita di sekitar kita. Wacana tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan. Wacana adalah sarana tempat institusi memperoleh kekuasaannya melalui proses definisi dan eksklusi. Rezim Soeharto, misalnya, memperoleh kekuasaannya ketika mendefinisikan demokrasi dengan “demokrasi Pancasila ala Soeharto”, yakni demokrasi yang berasal dari semangat Kerajaan Jawa, semangat “terpimpin” ala Soekarno pada tahun 1960-an, demokrasi yang menjunjung semangat mikul dhuwur mendhem jero, demokrasi yang mengedepankan musyawarah yang dinamainya denga “demokrasi yang bulat” dan mengharamkan pungutan suara terbanyak yang dinamainya dengan “demokrasi lonjong”, dan sebagainya. Dari pendefinisian demokrasi Pancasila itu, Soeharto dapat mengelompokkan masyarakat, kelompok masyarakat, golongan, persyarikatan, dan sebagainya ke dalam barisan yang pro demokrasi Pancasila, dan sebaliknya mengeluarkan masyarakat, kelompok masyarakat, golongan, dan persyarikatan tertentu ke dalam barisan yang antidemokrasi Pancasila.

Bahasa sebagai objek keilmuan telah dimulai sejak lama, sejak zaman Yunani kuno. Ini dapat dilacak melalui praktik bahasa yang dilakukan kalangan mazhab Sofisme. Bagi mazhab ini, bahasa dipakai sedemikian rupa sebagai cara untuk memperoleh keuntungan sosial, politik, dan ekonomi. Bahasa menunjukkan tingkat kepandaian seseorang dalam sebuah jenjang hierarki sosial. Semakin pintar seseorang mengolah bahasa, semakin prestisius pula derajat sosialnya.

Dalam pandangan Bourdieu, bahasa merupakan praktik sosial (social practice), bahasa sebagai bagian dari cara hidup sebuah kelompok sosial, dan secara esensial memberikan pelayanan bagi tercapainya tujuan-tujuan praktis. Bourdieu memasukkan kondisi sosial dan politik tempat bahasa itu syah untuk digunakan oleh penutur tertentu dan bagaimana bahasa itu menjalankan dominasinya.

Bahasa tidak sekadar alat komunikasi semata. Bahasa juga menjadi instrumen bagi individu, kelompok, bahkan negara untuk meneguhkan identitas atau kepentingan kelompok tertentu. Dengan kata lain, relasi bahasa dan relasi kekuasaan menjadi niscaya dalam kehidupan sosial yang lebih luas. Apalagi ketika bahasa masuk ke dalam ranah politik yang penuh dengan pertarungan untuk mendapatkan pengaruh kepada masyarakat luas.

Perspektif Wacana Kritis terhadap Bahasa

Dalam analisis wacana kritis, wacana tidak dipahami semata-mata sebagai kajian bahasa. Analisis wacana kritis memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis. Hasilnya bukan untuk memperoleh gambaran dari aspek kebahasaan, melainkan menghubungkannya dengan konteks. Hal ini berarti bahwa bahasa itu dipergunakan untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. Dari kajian terhadap pandangan-pandangan van Dijk, Fairclough, dan Wodak dapat dirumuskan sejumlah karakteristik analisis wacana kritis berikut.

Wacana sebagai Tindakan

Dalam padigma kritis, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Wacana adalah bentuk interaksi. Wacana tidak ditempatkan dalam ruang yang tertutup dan internal. Tidak ada wacana yang vakum sosial. Hal ini mengandung dua implikasi. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, membujuk, menyanggah, mempersuasif. Seseorang yang berbicara atau menulis selalu mempunyai tujuan, besar atau kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran. Tidak ada wacana yang lahir tanpa disadari sepe-nuhnya oleh penutur atau pembicaranya.

Peran Konteks dalam Produksi dan Interpretasi Wacana

Dalam paradigma kritis, wacana diproduksi, dimengerti, dan ditafsirkan dalam konteks tertentu. Dalam analisis wacana, selalu ditanyakan: (i) siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa, (ii) khalayaknya seperti apa dan bagaimana situasinya, (iii) melalui medium apa, (iv) bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi, dan (v) bagaimana hubungan untuk tiap-tiap partisipan.

Bahasa dipahami dalam konteks secara keseluruhan. Tiga istilah—yakni teks, konteks, dan wacana—menjadi kata-kata kunci dalam AWK. Wacana adalah teks dalam konteks. Titik perhatian analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Bahasa selalu berada dalam konteks. Tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, antarteks, situasi, dan sebagainya.

Wacana sebagai Produk Historis

Dalam paradigma kritis, wacana ditempatkan dalam konteks kesejarahan tertentu. Wacana selalu berada pada ruang waktu tertentu dan akan selalu berhubungan dengan waktu lainnya. Analisis terhadap bahasa politik pasca-Orde Baru akan selalu mempertanyakan (i) bagaimana situasi politik yang sedang terjadi, (ii) mengapa wacana tertentu itu yang berkembang, dan sebaliknya mengapa wacana yang lain tidak berkembang, (iii) mengapa istilah reformasi dan reformis begitu berkembang serta memperoleh nilai positif, dan mengapa istilah status quo menjadi jelek dan memperoleh apresiasi negatif, dan sebagainya.

Wacana sebagai Pertarungan Kekuasaan

Dalam paradigma kritis, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Wacana sesepele apa pun adalah bentuk pertarungan kekuasaan itu. Dengan demikian, setiap analisis wacana selalu dikaitkan dengan dimensi kuasa itu. Tugas analis adalah mengkritisi kekuasa-an yang tersembunyi dalam teks-teks bahasa itu.

Wacana sebagai Praktik Ideologi

Dalam pandangan kritis, wacana dipandang sebagai praktik ideologi, atau pencerminan dari ideologi tertentu. Ideologi yang berada di balik penghasil teksnya akan selalu mewarnai bentuk wacana tertentu. Penghasil teks yang berideologi liberalisme atau sosialisme tentu akan menghasilkan wacana yang memiliki karakter sendiri-sendiri. Dua catatan penting berkenaan dengan ideologi dalam wacana. Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individu. Ideologi selalu membutuhkan anggota kelompok, komunitas, atau masyarakat yang mematuhi dan memperjuangkan ideologi itu. Kedua, ideologi digunakan secara internal di antara anggota kelompok atau komunitas. Ideologi selalu menyediakan jawaban tentang identitas kelompok.

Dari paparan singkat itu dapat diperoleh pemahaman bahwa analisis wacana tidak bisa lagi menempatkan bahasa dalam sistem tertutup, tetapi harus menempatkannya dalam konteks. Analisisnya akan selalu mengungkap bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok yang ada berperan dalam membentuk wacana.

Bahasa dan Kekerasan Simbolik

Kekuasaan simbolik menjalankan bentuk-bentuk yang halus agar tak dikenali dan tak dirasakan. Begitu halusnya praktik dominasi yang terjadi, mereka yang didominasi tidak sadar, bahkan mereka menyerahkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkaran dominasi. Mereka menganggapnya sebagai kebenaran umum. Dominasi yang mengambil bentuk halus sering disebut dengan kekerasan simbolik (symbolic violence), yakni sebuah kekerasan yang lembut, sebuah kekerasan yang tak kasat mata, yang di baliknya menyembunyikan praktik dominasi. Kekerasan simbolik menciptakan mekanisme sosial yang bersifat objektif, di mana mereka yang dikuasai menerimanya begitu saja. Kekerasan simbolis dapat diandaikan sebagai kekuatan magis yang mampu menundukkan pihak yang lemah melalui mantra-mantra yang diciptakannya. Kekerasan simbolik ini dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, dari kehidupan sehari-hari hingga ke persoalan-persoalan besar.

Bagaimana kekerasan simbolik itu dijalankan? Kekerasan simbolik dijalankan melalui dua cara. Pertama, melalui cara eufemisasi, yakni menjadikan kekerasan simbolik tidak kelihatan, berlangsung secara lembut, serta mendorong orang untuk menerima apa adanya. Kedua, melalui mekanisme sensorisasi, yakni menentukan apa yang boleh dikatakan dan apa yang tidak boleh dikatakan dalam rangka pelestarian “nilai-nilai utama”.

Bagaimana pun kekerasan simbolik selalu mengandaikan bahasa sebagai alat efektif untuk melakukan “dominasi terselubung”. Karena bahasa sebagai sistem simbolik tidak saja dipakai sebagai alat komunikasi, tetapi juga berperan sebagai instrumen kekuasaan dengan memanfaatkan mekanisme kekerasan simbolik. Bourdieu mengajarkan kepada kita untuk selalu curiga terhadap bahasa, konsep, wacana, tanda, slogan, atau pun simbol lainnya yang diproduksi oleh kelas dominan. Melalui kekuasaan simbollah dunia ini ditafsirkan, dinamakan, dan didefinisikan untuk menggiring kelas subordinat kepada pengakuan serta penerimaan terhadap pandangan dunia mereka yang bermodal besar.

Penutup: Kritis terhadap Wacana Publik

Apakah Bourdieu dan pakar-pakar yang sealirannya dengannya mengajarkan sikap untuk selalu kritis? Jawabannya iya. Akan tetapi, sikap kritis yang dimaksud bukanlah asal-asalan mengkritisi, melainkan sikap yang menunda atau meninjau kembali penerimaan kita terhadap kebenaran sebuah konsep, slogan, dan wacana. Perlu dilihat siapa yang berada di balik proses produksi simbol-simbol tersebut. Karena bisa terjadi setiap gagasan dibungkus dengan menggunakan wajah kemanusiaan namun di baliknya menghancurkan hakikat kemanusiaan itu sendiri.

Bagaimana sikap kita? Kita tidak boleh menjadi penerima teks yang pasif. Kita harus menjadi penerima teks yang bersikap aktif-kritis-kreatif. Pada diri kita harus selalu kita letakkan sikap curiga terhadap penggunaan bahasa dalam ruang publik. Kita harus selalu “menantang” dan “mempertanyakan” kembali.

Bagaimana sikap kita terhadap persoalan bahasa? Ternyata, persoalan bahasa bukan sesuatu yang remeh. Persoalan bahasa bukanlah persoalan yang ecek-ecek. Banyak yang perlu dicermati, dipertanyakan kembali, dan dikritik. Penggunaan bahasa dalam ruang publik selalu sensitif terhadap pelbagai bentuk relasi. Tidak ada fakta lingual yang “polos”, “lugu”, dan “jujur”. Bahasa akan selalu terkait dengan persoalan-persoalan kepentingan kelompok, ideologi, cara pandang, kekuasaan, akses, dan sebagainya.

Daftar Bacaan

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Terjemahan oleh Nurhadi. Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana.

Beard, A. 2000. The Language of Politics. London: Routledge.

Berger, P.L. & Luckmann, T. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Terjemahan Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.

Birch, D. 1990. Language, Literature and Critical Practice. Dalam Anivan, S. (Ed.), Language Teaching Methodology for The Nineties (hlm. 157—177). Singapore: SEAMEO Regional Language Centre.

Birch, D. 1996. Critical Linguistics as Cultural Process. Dalam James, J.E. (Ed.), The Language-Culture Connection (hlm. 64—85). Singapore: SEAMEO Regional Language Centre.

Bourdieu, P. 1992. Language & Symbolic Power. Translated by G. Raymond & M. Adamson. Oxford: Blackwell Publishers.

Fairclough, N. 1989. Language and Power. New York: Longman Group UK Limited.

Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Harlow-Essex: Longman Group Limited.

Fashri, Fauzi. 2007. Penyingkapan Kuasa Simbo: Aproproasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: JUXTAPOSE.

Fowler, R. 1985. Power. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 61—82). London: Academic Press.

Fowler, R. 1986. Linguistic Criticism. Oxford: Oxford University Press.

Fowler, R. 1991. Language in The News: Discourse and Ideology in the Press. London & New York: Routledge.

Fowler, R. 1996. On Critical Linguistics. Dalam Caldas-Coulthard, C.R. & Coulthard, M. (Eds.), Texts and Practices: Reading in Critical Discourse Analysis (hlm. 3—14). London: Routledge.

Hall, S. 2001. Foucault: Power, Knowledge and Discourse. Dalam Wetherell, M., Taylor, S., & Yates, S.J. (Eds.), Discourse Theory and Practice: A Reader (hlm. 72—80). London: SAGE Publications.

Halliday, M.A.K. 1985/1994. An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold Publishers Ltd.

Heryanto, A. 1996. Pelecehan dan Kesewenang-wenangan Berbahasa: Plesetan dalam Kajian Bahasa dan Politik di Indonesia. Dalam Kaswanti Purwo, B. (Ed.), Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya Kesembilan (PELLBA 9) (hlm. 105—127). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hodge, R. & Kress, G. 1993. Language as Ideology. Second Edition. London & New York: Routledge.

Jones, J. & Wareing, S. 1999. Language and Politics. Dalam Thomas, L. & Wareing, S. (Eds.), Language, Society, and Power (hlm. 31—48). London & New York: Routledge.

Maybin, J. 2001. Language, Struggle and Voice: The Bakhtin/Volosinov Writings. Dalam Wetherell, M., Taylor, S., & Yates, S.J. (Eds.), Discourse Theory and Practice: A Reader (hlm. 64—71). London: SAGE Publications Ltd.

Santoso, A. & Saryono, Djoko. 2006. Konstruksi Ideologi dalam Bahasa Perempuan: Analisis Wacana Kritis Menuju Pemahaman (Understanding) yang Lebih Komprehensif terhadap Perempuan. Laporan Penelitian Hibah-Fundamental DP2M, Ditjen Dikti, Depdiknas Tahun Pertama 2006/2007. Malang: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang.

Santoso, A. 2000. Paradigma Kritis dalam Kajian Kebahasaan. Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 28(2): hlm. 127—146.

Santoso, A. 2002. Pendayagunaan Kata dalam Wacana Politik Era Pasca-Orde Baru. Forum Penelitian: Jurnal Teori dan Praktik Penelitian, 14(1): hal. 26—46.

Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra (WWS).

Santoso, Anang. 2008. Bahasa, Masyarakat, dan Kuasa: Topik-Topik Kritis dalam Kajian Ilmu Bahasa. Diktat Matakuliah Sosiolinguistik. Malang: Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.

Santoso, Anang. 2008. Bahasa sebagai Faktor Integrasi dan Disinterasi Bangsa. Makalah disajikan dalam Studium General Matakuliah Pengembangan Kepribadian, yang dilaksanakan oleh UPT Matakuliah Umum (UPMU), Universitas Negeri Malang, tanggal 23 Januari.

Santoso, Anang. 2009. Bahasa Perempuan sebagai Ideologi Perjuangan. Dalam proses penerbitan. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Storey, J. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Terjemahan oleh Dede Nurdin. Yogyakarta: CV Qalam.

Thornborrow, J. 1999. Language and the Media. Dalam Thomas, Linda & Wareing, Shan (Eds.), Language, Society, and Power: An Introduction. London & New York: Routledge.

Thornborrow, J. 2002. Power Talk: Language and Interaction in Institutional Discourse. London & New York: Longman.

van Dijk, T. 2001. Principles of Critical Discourse Analysis. Dalam Wetherell, M., Taylor, S., & Yates, S.J. (Eds.), Discourse Theory and Practice: A Reader (hlm. 300—317). London: SAGE Publications Ltd.

Wodak, R. 1996. Disorders of Discourse. London & New York: Longman.

Jumat, 07 Mei 2010

BAHASA, KOMUNIKASI, DAN POLITIK

POLITIK bertalian dengan masalah pengaturan masyarakat secara berkekuasaan dan untuk itu diperlukan pengorganisasian rakyat banyak. Untuk menguasai jalan pikiran orang banyak diperlukan suatu alat komunikasi yang dapat menjangkau semua lapisan masyarakat (Anwar, 1984:58). Pandangan tersebut memberikan pemahaman bahwa bahasa mendapat tempat yang amat strategis dalam bidang politik. Bahasa bukan hanya sekadar alat komunikasi, akan tetapi juga menjalankan fungsi-fungsi regulatif yang amat kompleks. Proses politik bukan hanya persoalan "praksis kerja", yakni mengatur orang banyak atas pembagian tugas yang sudah dirinci, tetapi juga "praksis komunikasi", yakni bagaimana mendayagunakan bahasa sebagai alat komunikasi politik yang dapat menjangkau seluruh masyarakat yang memiliki latar belakang (suku, agama, ras, dan golongan) yang beragam.
Dalam konteks sosial, politik, dan kultural, bahasa digunakan untuk mengontrol atau mengendalikan masyarakat melalui pengontrolan makna. Terkait dengan ini, Birch (1996:68) secara tegas berpendapat sebagai berikut.
"Di mana ada kontrol, di situ ada konflik, dan di mana ada konflik di situ selalu politik. Tidak ada tindak komunikasi, tidak ada masalah yang tampaknya sederhana dan innocent dapat melarikan diri dari politik. Semua komunikasi selalu berkonsekuensi, komunikasi selalu memiliki signifikansi di balik bentuk dan strukturnya bagi masyarakat yang terlibat dalam penyusunan dan penafsiran, tidak hanya pada tindak komunikatif itu sendiri, tetapi juga konsekuensi dari tindak itu."
Dari pandangan Birch itu dapat ditarik pemahaman bahwa komunikasi selalu berkaitan dengan aktivitas yang memiliki kepentingan dan selalu dimotivasi oleh hasrat tertentu. Komunikasi juga harus diletakkan dalam perjumpaan (encounters) tertentu yang melibatkan partisipan tertentu, konteks tertentu, dan kerangka-kerangka diskursif tertentu. Komunikasi akan selalu terkait erat dengan pertanyaan-pertanyaan "bagaimana", "mengapa", "kapan", "untuk apa", dan "dengan siapa" komunikasi itu diletakkan, serta "siapa" yang meletakkan komunikasi itu.
Semua pertanyaan itu terkait dengan proses komunikasi yang bersifat dinamis dan dialektis dalam konteks historis tertentu. Ditegaskan oleh Birch, semua komunikasi diletakkan dalam perjumpaan tertentu, dalam konteks tertentu, dan dalam kerangka diskursif tertentu. Kajian terhadap fenomena komunikasi yang bersifat dinamis itu tidak hanya tertarik kepada "apa" komunikasi itu, tetapi lebih tertarik kepada "mengapa" komunikasi itu bermakna. Kajian terhadap komunikasi tidak hanya tertarik kepada "apa" makna teks bahasa, tetapi lebih tertarik kepada "bagaimana" makna wacana dalam konteks kultural yang lebih luas.
Untuk mencapai tujuan itu, pandangan terhadap komunikasi haruslah berangkat dari enam asumsi yang dikemukakan Birch sebagai berikut. Pertama, komunikasi itu selalu politik sebelum bentuk lingual (lingistic) yang muncul. Sebelum bentuk lingual lahir, kendala-kendala politik, sosial, kultural, dan ideologis akan menentukan "bentuk" pilihan bahasa. Dalam proses memilih itu, ada bentuk lingual yang diistimewakan, dan ada yang dinomorduakan. Kata pembangunan dan P4, misalnya, pada era pasca-Orde Baru tidak diprioritaskan penggunaannya.
Kedua, komunikasi itu akan selalu motivated, interested, dan situated. Bentuk-bentuk lingual yang dipilih digunakan untuk mengontrol dan mengarahkan orang lain, membuat makna tertentu tentang realitas, mengelompokkan sesuatu dalam realitas, menyembunyikan makna tertentu, dan sebagainya. Tindak komunikasi selalu bersifat "emansipatoris", selalu melibatkan orang lain dalam perjumpaan tertentu.
Ketiga, komunikasi itu selalu strategi. Tindak komunikasi selalu berkaitan dengan "siasat" untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sebelum lahir menjadi bentuk lingual, terdapat pergulatan strategi yang terkait dengan politik, kultural, dan sosial dalam menentukan pilihan bahasa yang dimunculkan. Tidak ada komunikasi yang tidak berupa strategi.
Keempat, komunikasi selalu terjadi dalam perjumpaan dan interaksi tertentu. Tindak komunikasi selalu melibatkan orang lain sebagai bagian dari partisipan komunikasi dengan memanfaatkan bentuk-bentuk lingual. Dalam komunikasi itu akan terjadi "pertukaran makna" antarpartisipan yang terlibat.
Kelima, komunikasi selalu berkaitan dengan nilai. Bentuk-bentuk lingual yang dipilih akan terkait dengan nilai-nilai yang dikembangkan sepanjang waktu. Nilai-nilai berkaitan erat dengan kekuasaan, subordinasi, gender, solidaritas, dan sebagainya yang tidak bersifat given. Secara tegas Birch menegaskan bahwa nilai-nilai itu selalu hasil dari konflik dan perebutan kekuasaan di atas ketidakberdayaan, proses-proses penaturalisasian, dan proses penanaman yang sering berlangsung secara bawah sadar.
Keenam, komunikasi selalu bersifat contingent 'bergantung'. Tindak komunikasi selalu bergantung kepada cara-cara kelompok, institusi, masyarakat, dan individu--sebagai anggota masyarakat--memberikan nilai kepada makna-makna tertentu. Dengan demikian, makna selalu berkembang sepanjang waktu. Makna bukanlah sesuatu yang alamiah (cultural), tetapi dibangun dan dibentuk dalam proses sosial dan politik. Tidak ada makna yang tunggal, tetapi selalu bersifat jamak.
Enam asumsi itu cocok menjadi titik tolak dalam kajian komunikasi politik, termasuk di dalamnya komunikasi verbal. Kata-kata kunci dalam komunikasi--seperti "kendala dalam pilihan bahasa", "motivated, interested, & situated", "strategi", "perjumpaan", "perjuangan nilai", dan "bergantung"--merupakan ciri atau karakteristik pokok dalam komunikasi politik. Dengan demikian, dalam politik, komunikasi yang dihasilkan adalah komunikasi yang "tidak ideal", "tidak normal", "timpang", dan "senjang", di mana terdapat ketidaksejajaran kekuasaan "penghasil teks" dengan "konsumen teks". Dengan kekuasaan yang dimilikinya, penghasil teks selalu mendayagunakan bahasa--bahkan menyalahgunakan bahasa (language abuse)--untuk kepentingan politik tertentu. Akhirnya, muncullah "kekeliruan", "kesalahan", "ketidakmampuan", dan "ketidaktepatan" masyarakat awam di dalam mengkonsumsi teks bahasa yang dihasilkan oleh penghasil teks itu.
Bagaimanakah bahasa politik yang dihasilkan oleh elite politik Indonesia?

(Anang Santoso, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra (FS), Universitas Negeri Malang [UM])

Sumber:
Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Penerbit WEDATAMA WIDYA SASTRA.

Kamis, 06 Mei 2010

RAMBU-RAMBU ORWELL TENTANG BAHASA POLITIK

Dalam dunia politik, komunikasi yang dihasilkan adalah komunikasi yang "tidak ideal" atau "tidak normal", di mana terdapat ketidaksejajaran kekuasaan antara elite politik--sebagai penghasil teks--dan masyarakat awam sebagai konsumen teks. Dengan kekuasaannya, elite politik selalu mendayagunakan bahasa untuk kepentingan politik tertentu. Akhirnya, muncullah banyak fenomena masyarakat yang sering keliru, sering salah, sering tidak mampu, sering tidak tepat dalam memahami bahasa politik itu. Untuk fenomena seperti itu, Mueller (1980:105) menamainya dengan istilah constrained communication, yakni komunikasi antara elite politik, misalnya pemerintah atau pemimpin partai politik, dan masyarakat awam yang berkenaan dengan persoalan kemasyarakatan yang sering memunculkan bias sistematik untuk kepentingan elite politik itu yang membuat sulitnya menemukan pemahaman makna yang sama.
Adanya constrained communication itu mungkin saja membuat masyarakat menjadi frustasi. Masih adakah tempat dan kesempatan bagi masyarakat awam yang notabene objek politik dapat memamahami bahasa politik itu? Rambu-rambu G. Orwell yang sudah muncul pada tahun 1940-an dapat menjadi acuan bagi elite politik dalam mendayagunakan bahasanya. Orwell menyarankan sejumlah kaidah penggunaan bahasa yang sudah seharusnya diikuti oleh para elite politik, seluruh pembicara, dan seluruh penulis demi kepentingan komunikasi yang jelas, jujur, dan dapat dipahami. Enam kaidah itu dipaparkan berikut.
Pertama, jangan menggunakan metafora, simile, atau gaya bahasa lain yang sudah usang dan tidak mdmberikan pencerahan terhadap pemahaman sesuatu. Perumpamaan "membeli kucing dalam karung", misalnya, yang sering diucapkan oleh elite politik Indonesia sebaiknya dihindari. Orwell mengingatkan bahwa penggunaan frasa tertentu yang berlebihan membuat frasa itu menjadi tidak bermakna.
Kedua, jangan menggunakan kata yang panjang, sementara ada kata yang pendek yang dapat digunakan. Dalam bahasa Inggris, misalnya, kata yang panjang akan memberikan kesan "formal" dan "lebih bermartabat" meskipun kedua kata itu hanya memiliki sedikit perbedaan makna. Kata-kata yang panjang itu sering sulit untuk dipahami. Kata-kata panjang itu, menurut Jones dan Waeing, sering didayagunakan oleh elite politik untuk tujuan: (1) menunjukkan autoritas dan superioritas, & (2) mempengaruhi, mengintimidasi, mempesonakan, & dan membingungkan si penerima.
Ketiga, jika memungkinkan memotong sebuah kata tambahan yang tidak perlu, potonglah kata itu. Penambahan kata ini sering dimanfaatkan oleh elite politik agar apa yang disampaikannya itu terasa lebih impresif dan intimidatif.
Keempat, jangan menggunakan kalimat pasif jika Anda dapat menggunakan aktif. Kalimat aktif bersifat lebih langsung dan lebih informatif. Sementara itu, kalimat pasif tampak lebih formal dan lebih berbelit yang sering memberikan informasi yang kurang sehingga lebih sukar untuk dimengerti. Dalam kalimat aktif, agen pelaku cenderung dimunculkan secara langsung dan eksplisit; dalam kalimat pasif agen pelaku sering disembunyikan, bahkan sering hilang.
Kelima, jangan menggunakan frasa bahasa asing, kata atau jargon ilmiah, jika Anda dapat menyampaikannya dalam bahasa sehari-hari. Menurut Jones & Wareing (1999), elite politik menggunakan frasa asing, jargon dan kata ilmiah untuk pelbagai alasan, baik alasan yang baik maupun alasan yang jelek. Jika komunikasi politik bertujuan menginformasikan sesuatu secara jelas dan jujur kepada masyarakat awam, pilihan kata sehari-hari seharusnya menjadi pertimbangan utama. Pilihan kata yang bernuansa prestisius pada umumnya lebih bersifat afektif daripada informatif.
Keenam, langgar kaidah-kaidah di atas (1--5) segera daripada mengatakan sesuatu yang amat kejam. Apa artinya kaidah keenam ini? Rambu-rambu Orwell ini menekankan "bagaimana sesuatu itu disampaikan", dan bukan "apa yang disampaikan". Untuk tujuan hidup sehari-hari, "apa yang dikatakan" mungkin saja lebih penting daripada "bagaimana menyampaikan sesuatu". Sebuah pidato yang diikuti dengan lima kaidah Orwell pertama, tetapi untuk tujuan penindasan dan manipulasi, jelas amat tidak diharapkan. Pidato yang seperti itu jelas-jelas akan menyakiti hati George Orwell.
Bagaimana bahasa politik yang dihasilkan oleh elite politik Indonesia? Marilah kita sama-sama memonitor dan mengkritisi bahasa-bahasa mereka itu!
(Anang Santoso, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra (FS), Universitas Negeri Malang [UM])
Sumber:

Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Penerbit WEDATAMA WIDYA SASTRA.

Kesadaran Bahasa Kritis bagi Pejabat Publik: Kasus Bupati Jember

Bahasa politik--yakni bahasa yang dipergunakan oleh elite politik--bukanlah bahasa "asing" yang sering dimengerti secara tidak tepat, keliru, & salah oleh publik yang notabene adalah konsumen politik. Bahasa politik tetap bahasa yang digunakan oleh masyarakat pada umumnya. Kasus Bupati Jember yang diprotes warganya hanya karena dituduh menghina Nabi Muhammad berasal dari ketidakkompetenan pejabat dalam mengelola bahasa publik. Kasus anggota DPR yang bersilat lidah secara vulgar dalam sidang tentang kasus Bank Century menunjukkan begitu rendahnya kompetensi berbahasa mereka. Masih banyak contoh lain dari elite kita tentang rendahnya kemampuan penggunaan bahasa politik.
Untuk itulah, beberapa rambu-rambu berikut dapat menjadi panduan bagi elite politik, elite masyarakat, elite agama, dan elite-elite yang lain.
1. Bahasa politik harus dapat berfungsi sebagai alat komunikasi yang dapat menjangkau semua lapisan masyarakat, baik secara vertikal maupun horisontal (Santoso, 2006:95).
2. Bahasa politik harus dijaga supaya tetap merupakan bagian dari bahasa yang hidup di dalam masyarakatnya dan tidak boleh melanggar kaidah-kaidahnya (Kawulusan, 1998:5).
3. Bahasa politik harus dijiwai oleh tatanilai yang dianut dan dihayati oleh seluruh masyarakatnya (Kawulusan, 1998:5).
4. Bahasa politik harus menghindarkan diri dari sifat-sifat sarkasme, vulgarisme, berputar-putar, abstrak, dan sulit dipahami.
Oleh karena itu, jika kita menjadi elite apa pun rambu-rambu berbahasa di atas harus dikuasai.

(Anang Santoso, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra (FS), Universitas Negeri Malang [UM])