Sabtu, 22 Mei 2010
GRAMATIKA SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI
Sastra Indonesia, Fak. Sastra, Universitas Negeri Malang
Ideologi, seperti dikemukakan Dale (1986), adalah sebuah “bunglon” konseptual (Burbules, 1992:7) sehingga rentangan maknanya juga bervariasi. Dalam praksisnya ideologi memperoleh artikulasi secara sangat jelas dalam bahasa. Ideologi mendapatkan tempat artikulasi yang sangat luas dalam praksis-praksis sosial yang beraneka ragam. Ideologi akan berdampak terhadap produksi teks. Ideologi mengkonstruksikan makna bagi subjeknya. Oleh karena itu, cara yang tepat untuk memeriksa atau menguji “struktur ideologi” adalah melalui pemeriksaan terhadap “bahasa”.
Para “linguis kritis”, seperti Fowler (1985; 1986; 1996), Fairclough (1985; 1989; 1995), Kress (1985), Sykes (1985), van Dijk (1985; 2001), Birch (1996), dan Wodak (1996) amat percaya bahwa struktur-struktur linguistik dimanfaatkan, didayagunakan, difungsikan untuk mengemukakan ideologinya, secara sadar, tidak sadar, bahkan bawah sadar. Santoso (2001, 2003a, 2003b) membuktikan bahwa dalam tuturan para elite politik yang tampaknya sebagai “biasa-biasa” saja dan tampak tidak berdosa (innocent), ternyata menyembunyikan banyak aspek-aspek ideologi yang perlu diketahui oleh masyarakat.
Sebaliknya, bentuk-bentuk bahasa dapat dijelaskan melalui analisis kerja ideologi dalam masyarakat. Fairclough (1995:25) menyarankan agar hubungan bahasa dan ideologi seharusnya dikonseptualisasikan dalam kerangka penelitian wacana dan perubahan sosial budaya. Persoalan bahasa dan ideologi bukan persoalan linguistik an sich, tetapi penelitian hubungan bahasa dan ideologi akan “basah kuyup” oleh konteks situasi dan konteks budaya yang melatari dan melingkupi, bahkan mendeterminasi.
Persoalan ideologi dalam bahasa banyak mendapat perhatian pada era pasca-strukturalisme setelah timbulnya kesadaran akan hakikat bahasa sebagai social practice. Maraknya kesenjangan komunikasi dalam bidang sosial pada umumnya, membuat isu-isu ideologi langsung menjadi pusat perhatian. Wacana bukan lagi menjadi sesuatu yang netral dan vakum sosial. Wacana adalah situs perjuangan dan perebutan sosial. Persoalan-persoalan jender, autoritas, rasial, profesionalisme, ilmu, bahkan keluarga memiliki wilayah wacana tertentu dan memiliki karakteristik tertentu yang menimbulkan “ketidaksimetrisan hubungan” antarpartisipan. Wacana era pascastrukturalisme menampakkan adanya kesenjangan komunikasi di mana para partisipannya tidak memiliki akses yang sama dalam proses komunikasi, kesadaran yang relatif belum pernah ada pada era sebelumnya, atau jika ada masih tampak malu-malu untuk merumuskan bahwa yang terjadi adalah “komunikasi yang timpang”.
Isi ideologi dalam wacana bahasa diekspresikan melalui pilihan bentuk-bentuk lingual. Mengikuti pandangan Fairclough (1989), pilihan bentuk lingual itu antara lain (i) ketransitifan, (ii) kalimat aktif-pasif, (iii) kalimat positif-negatif, (iv) modus kalimat deklaratif-interogatif-imperatif, (v) modalitas relasional, (vi) pronomina persona, dan (vii) modalitas ekspresif. Aspek-aspek itu sering dinamakan dengan unsur gramatika dalam bahasa.
PILIHAN KETRANSITIFAN SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI
Teori ketransitifan ini bersumber dari fungsi representasi bahasa, yakni fungsi bahasa yang bertugas (i) menyandikan (encode) pengalaman tentang dunia, dan (2) membawa gambaran tentang realitas. Dalam pandangan Halliday (1985:101) kepemilikan fundamental bahasa memungkinkan manusia itu membangun gambaran mental realitas dan membuat makna dari pengalaman tentang apa yang terjadi di sekitar dan di dalamnya.
Teori ketransitifan dipergunakan untuk menjawab tiga persoalan pokok yang dilontarkan Fairclough (1989), yakni (i) tipe-tipe proses dan partisipan yang dominan, (ii) penampakan agen, dan (iii) penampakan proses. Dalam pandangan Fairclough (1989:120) ketika seseorang memberikan representasi secara tekstual tentang tindakan, peristiwa, keadaan, dan hubungan yang nyata atau imajinasi, sering terdapat pilihan antara tipe-tipe proses dan partisipan yang berbeda dan seleksi yang dibuat itu memiliki signifikansi ideologis tertentu. Pilihan agen-agen, misalnya sesuatu yang animate, nomina tidak bernyawa, atau nomina abstrak, akan mengimplikasikan signifikansi ideologis tertentu.
Kehadiran sebuah kalimat akan mempengaruhi kalimat lainnya. Proses dari satu tipe memunculkan proses-proses tipe lainnya yang mungkin saja disebabkan oleh alasan ideologis tertentu. Kalimat beragen tidak bernyawa, misalnya, akan memperoleh penguatan dari kalimat sebelumnya sehingga bertambah status agentifnya. Dalam banyak kasus, seseorang seharusnya menjadi peka terhadap kemungkinan pilihan agen yang dimotivasi secara ideologis itu.
PILIHAN AKTIF-PASIF SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI
Proses-proses tindakan dapat muncul dalam kalimat aktif maupun pasif. Aktif dan pasif adalah persoalan voice, yakni bagaimana cara sebuah bahasa mengekspresikan hubungan antara frasa verba dan frasa nomina, serta pelbagai hal yang diasosiasikan dengan hubungan itu (Richards, Platt, & Platt, 1992:401). Dua buah kalimat mungkin saja berbeda dalam voice-nya meskipun memiliki makna dasar yang sama. Hal itu berkaitan dengan perubahan dalam penekanan sesuai dengan pertimbangan tertentu.
Dalam praktiknya, sebuah kalimat mungkin lebih sesuai atau lebih pantas dibandingkan dengan kalimat yang lain untuk situasi tertentu. Dalam tradisi Jawa, misalnya, lebih sesuai menggunakan pasif dalam imperatif dibandingkan dengan aktif meskipun makna dasarnya sama.
Pilihan aktif-pasif ini berdampak pada kehadiran agen. Kalimat pasif yang dipilih, misalnya, sering menampilkan agen, dan sebaliknya sering meniadakan agen. Menurut Fairclough (1989:125) kalimat pasif tanpa agen membiarkan kausalitas dan kekaburan atau ketidakjelasan agen. Dalam banyak kasus, ketidakhadiran agen digunakan untuk menyembunyikan pelaku. Bentuk kalimat aktif “Pasukan berseragam menyerang PDI Promeg” memiliki signifikansi ideologis yang berbeda dengan bentuk pasif “PDI Promeg Diserang”.
PILIHAN BENTUK POSITIF-NEGATIF SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI
Pada umumnya nilai pengalaman diekspresikan dalam kalimat positif. Pada kasus tertentu, nilai pengalaman diekspresikan dalam kalimat negatif. Fairclough (1989:125) berpendapat bahwa negasi secara jelas memiliki nilai pengalaman sebagai cara dasar yang dimiliki manusia dalam membedakan apa yang bukan kasus dengan yang memang benar-benar kasus.
Bentuk negasi menjalankan tiga fungsi: (i) negatif yang sesungguhnya, (ii) negatif yang manipulatif, dan (iii) negatif yang ideologis. Bentuk negatif berfungsi ideologis ketika bentuk ekspresi “nilai pengalaman” itu berfungsi melayani kekuasaan. Pertanyaan penting yang dimunculkan adalah “apa motivasi penulis atau pembicara menggunakan asersi negatif jika ia dapat mengungkapkan persoalan yang sama dalam asersi positif”. Menurut Fairclouh (1989:126) penulis atau pembicara secara jelas menggunakan negatif sebagai cara untuk mengambil isu secara implisit yang sesuai dengan asersi positif.
PILIHAN MODUS DEKLARATIF-INTEROGATIF-IMPERATIF SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI
Modus kalimat adalah cara bagaimana kalimat itu diekspresikan kepada mitra bicara. Terdapat tiga cara, yakni (i) deklaratif, (ii) pertanyaan gramatis, dan (iii) imperatif. Tiga modus tersebut menempatkan subjek secara berbeda. Penempatan ini mengakibatkan ketidaksimetrisan sistematis. Fairclough (1989:126) berpendapat bahwa ketidaksimetrisan sistematis dalam pembagian modus antarpartisipan menjadi penunjuk dari hubungan partisipan. Bertanya, misalnya, pada umumnya berkaitan dengan “posisi kekuasaan”. Bertanya dapat menjadi “tindakan” atau “informasi”, dan dapat juga sebagai pemberi informasi. Deklaratif selain berarti pemberian informasi dapat juga berarti perintah. Bertanya selain berarti permintaan informasi juga dapat bernilai perintah.
Catatan penting dikemukakan Fairclough (1989) bahwa modus kalimat dalam penggunaan yang sebenarnya jauh lebih rumit dari yang digambarkan tersebut. Dua alasan dikemukakan, yakni (i) tidak ada hubungan satu-satu antara modus kalimat dan pemosisian subjek, dan (ii) terdapat posisi subjek yang lebih banyak dan beragam daripada yang sudah diidentifikasi selama ini. Modus deklaratif memiliki nilai permintaan untuk informasi; modus pertanyaan memiliki nilai menawarkan tindakan; modus imperatif dapat menjadi sebuah saran atau anjuran.
PILIHAN MODALITAS RELASIONAL SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI
Modalitas mengandung nilai relasional apabila modal itu digunakan terkait dengan autoritas satu partisipan dalam hubungan dengan partisipan lainnya. Dalam bahasa Indonesia, kajian yang mendalam tentang modalitas dilaksanakan oleh Alwi (1991). Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat empat golongan besar modalitas: (i) modalitas intensional, (ii) modalitas epistemik, (iii) modalitas deontik, dan (iv) modalitas dinamik.
Modalitas intensional berkaitan dengan fungsi instrumental bahasa. Bahasa digunakan untuk menyatakan sikap pembicara sehubungan dengan peristiwa nonaktual yang diungkapkannya. Bagi mitra bicara, apa yang diutarakan oleh pembicara merupakan dorongan kuat untuk mengaktualisasikan peristiwa yang bersangkutan. Modalitas intensional dapat menyatakan ‘keinginan’, ‘ajakan’, ‘pembiaran’, dan ‘permintaan’.
Modalitas epistemik merupakan penilaian penutur terhadap kemungkinan dan keperluan bahwa sesuatu itu demikian atau tidak demikian (Alwi, 1991:90). Modalitas epistemik dapat mengekspresikan ‘kemungkinan’, ‘keteramalan’, ‘keharusan’, dan ‘kepastian’.
Modalitas deontik berhubungan dengan kewajiban. Dalam modalitas ini terkandung makna bahwa penutur sebagai sumber deontik mengharuskan, mengizinkan, dan melarang terjadinya suatu peristiwa. Modalitas deontik ini mengandung makna ‘perintah’, ‘izin’, dan ‘larangan’.
Modalitas dinamik mempersoalkan sikap pembicara terhadap aktualisasi peristiwa yang ditentukan oleh keadaan yang lebih bersifat empiris. Dalam modalitas dinamik terkandung makna ‘mampu’ atau ‘sanggup’
PILIHAN PRONOMINA PERSONA SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI
Pilihan pronomina persona berkenaan dengan bagaimana pembicara menghadirkan dirinya di hadapan mitra bicaranya. Pronomina persona adalah seperangkat pronomina yang merepresentasikan kategori gramatikal dari persona. Dalam bahasa Indonesia pronomina persona merujuk pada tiga maujud: (i) persona pertama, (ii) persona kedua, dan (iii) persona ketiga.
Penggunaan pronomina persona dapat menunjukkan hubungan kekuasaan dan solidaritas. Untuk menunjukkan kekuasaannya, pembicara menggunakan kata atau bentuk kata tertentu. Penggunaan kata “Bapak” untuk menggantikan persona pertama mengandung arti bahwa orang pertama memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada mitra tuturnya itu. Untuk menunjukkan solidaritas setiap bahasa mempunyai pelbagai alat dan kata tertentu pula.
PILIHAN MODALITAS EKSPRESIF SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI
Modalitas menjadi ekspresif jika modalitas adalah persoalan autoritas penbicara atau penulis yang berkenaan dengan kebenaran atau kemungkinan representasi realitas. Ditegaskan oleh Fairclough (1989:129) bahwa modalitas bukan hanya persoalan verba bantu modal. Pilihan terhadap verba bantu tertentu akan menampilkan gambaran yang berbeda tentang realitas.
Bentuk-bentuk modalitas yang dipilih memiliki signifikansi ideologis tertentu. Fairclough memberi contoh bahwa verba are dalam Your library books are overdue merupakan titik pangkal modalitas ekspresif, yakni sebuah komitmen kategoris penutur terhadap kebenaran proposisi. Modalitas itu merupakan lawan dari ekspresi negatif Your library books are not overdue, sebuah komitmen kategoris yang sejajar terhadap kebenaran proposisi yang dinegasikan.
DAFTAR RUJUKAN
Birch, D. 1990. Language, Literature and Critical Practice. Dalam Anivan, S. (Ed.), Language Teaching Methodology for The Nineties (hlm. 157—177). Singapore: SEAMEO Regional Language Centre.
Birch, D. 1996. Critical Linguistics as Cultural Process. Dalam James, J.E. (Ed.), The Language-Culture Connection (hlm. 64—85). Singapore: SEAMEO Regional Language Centre.
Burbules, N.C. 1992. Forms of Ideology-Critique: a Pedagogical Perspective. Dalam Smith, B. (Compiled), Research Methodology 1: Issues and Methods in Research (hlm. 7—17). Reader Part 3. Geelong-Victoria: Deakin University.
Crystal, David. 1991. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. Oxford: Basil Blackwell Ltd.
Fairclough, N. 1989. Language and Power. New York: Longman Group UK Limited.
Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Harlow-Essex: Longman Group Limited.
Fowler, R. 1985. Power. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 61—82). London: Academic Press.
Fowler, R. 1986. Linguistic Criticism. Oxford: Oxford University Press.
Fowler, R. 1991. Language in The News: Discourse and Ideology in the Press. London & New York: Routledge.
Fowler, R. 1996. On Critical Linguistics. Dalam Caldas-Coulthard, C.R. & Coulthard, M. (Eds.), Texts and Practices: Reading in Critical Discourse Analysis (hlm. 3—14). London: Routledge.
Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotic. London: Edward Arnold.
Halliday, M.A.K. 1985/1994. An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold Publishers Ltd.
Hodge, R. & Kress, G. 1993. Language as Ideology. Second Edition. London & New York: Routledge.
Kress, G. 1985. Ideological Structures in Discourse. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 27—42). London: Academic Press.
Lee, D. 1992. Competing Discourses: Perspective and Ideology in Language. London & New York: Longman.
Mills, S. 1997. Discourse. London & New York: Routledge.
Santoso, A. 2000. Paradigma Kritis dalam Kajian Kebahasaan. Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 28(2): hlm. 127—146.
Santoso, A. 2002. Pendayagunaan Kata dalam Wacana Politik Era Pasca-Orde Baru. Forum Penelitian: Jurnal Teori dan Praktik Penelitian, 14(1): hlm. 26—46.
Santoso, A. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra (WWS).
Santoso, A. 2005. Pendayagunaan Ketransitifan dalam Wacana Politik Era Pasca-Orde Baru: Perspektif Kritis. Forum Penelitian: Jurnal Teori dan Praktik Pendidikan, 17(2): hlm. 167—186.
Santoso, A. 2007. Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya. Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 35(1): hlm. 1—15.
Santoso, A. 2007. Beberapa Catatan tentang Bahasa Perempuan: Perspektif Wacana Kritis. Diksi: Jurnal Ilmiah Bahasa, Sastra, dan Pengajaran-nya, 14(2): hlm. 111—121.
Sykes, M. 1985. Discrimination in Discourse. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 83—101). London: Academic Press.
Thornborrow, J. 2002. Power Talk: Language and Interaction in Institutional Discourse. London & New York: Longman.
van Dijk, T. 1985. Introduction: The Role of Discourse Analysis in Society. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 1—8). London: Academic Press.
van Dijk, T. 2001. Principles of Critical Discourse Analysis. Dalam Wetherell, M., Taylor, S., & Yates, S.J. (Eds.), Discourse Theory and Practice: A Reader (hlm. 300—317). London: SAGE Publications Ltd.
Wodak, R. 1996. Disorders of Discourse. London & New York: Longman.
Senin, 17 Mei 2010
PENDULUM KAJIAN BAHASA: DARI YANG AUTONOM KE YANG INSTRUMENTAL
Fakultas Sastra & PPS UM
SEBUAH PENGAKUAN
“Wah, Bapak terlalu overestimate tentang saya”. Begitulah jawaban saya terhadap Pak Effendi (A. Effendi Kadarisman, M.A., Ph.D.) ketika beliau meminta saya membedah buku beliau yang baru terbit. Hal ini didasarkan atas pengalaman “masa lalu” ketika membaca karya Pak Effendi. Setiap kali saya membaca tulisan beliau yang muncul dalam sejumlah jurnal, terus terang saja saya memerlukan banyak sekali energi dan waktu untuk memahaminya (Ini bukan keluhan, lho). Begitu rumit dan rincinya, saya sering menyebut beliau dengan “Chomskyan UM”. Demikian juga, pengalaman mengikuti kuliah “Aliran Linguistik”-nya Prof. Abdul Wahab, M.A., Ph.D. (alm.) ketika menempuh program doktor, saya selalu mengernyitkan dahi ketika membedah buku-buku Chomsky meskipun Pak Wahab selalu membuatkan ringkasan kecil buku Comsky untuk kelas kami. Terus terang saja, sebenarnya saya sangat ingin menguasai teori-teori Chomsky, mulai Teori Klasik (1957), Teori Standar (1965), Teori Standar yang Diperluas (1969/1970), Teori Standar yang Diperluas dan Direvisi (1975), Teori Penguasaan dan Ikatan (1980/1981) sampai teori-teori yang muncul selanjutnya. Inilah pengakuan jujur saya. Akan tetapi, sebagai bentuk tanggung jawab akademik, saya tentu saja saya merasa bahagia dan untuk selanjutnya saya melakukan dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya dalam membaca dan membaca ulang buku karya Pak Effendi ini.
Buku Pak Effendi ini adalah bentuk baru dari sejumlah artikel terserak yang pernah disajikan dalam pelbagai forum. Dilihat dari forum tempat artikel disajikan, tentulah kita semua sepakat bahwa tulisan-tulisan dalam buku ini berkualitas tinggi atau berbobot. Kita semua tidak menyangsikan begitu bergengsinya KLN (Kongres Linguistik Nasional) dan KIMLI (Kongres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia) yang diadakan secara rutin oleh Masyarakat Linguistik Indonesia, PELLBBA atau pertemuan linguistik lembaga bahasa dan budaya Atma Jaya Jakarta (yang setiap tahun diadakan oleh Universitas Atma Jaya Jakarta), apalagi forum TEFLIN International Conference.
Ada ketakutan pada diri saya ketika harus membedah buku Pak Effendi. Ada dua alasan. Pertama, alasan yang klasik, saya takut tidak memberikan paparan yang objektif terhadap karya tersebut. Yang paling utama adalah saya takut tidak tepat memahami karya-karya Pak Effendi karena keterbatasan kemampuan membaca saya. Kedua, saya takut melakukan kesewenang-wenangan terhadap karya ini. Tentu saja, perspektif linguistik saya—yang mungkin saja bersifat subjektif—memaksa karya ini “seharusnya” seperti yang saya kehendaki. Selama ini saya tidak terlalu intensif membaca dan memahami karya-karya linguistik madzab Anglo-Amerika. Karya-karya linguistik formal atau linguistik autonom Amerika, seperti dari Bloomfield, Chomsky, Katz & Fodor, Katz & Postal, Akmajian, Lakoff, McCawley dan lain-lainnya tidak terlalu saya ikuti. Kalaupun membaca dan memahaminya hanya sebatas kulit-kulitnya saja (Itu pun lebih banyak saya peroleh dari hasil membaca buku-buku tangan kedua, bahkan tangan ketiga).
Sebaliknya, selama ini pula saya membaca—yang jumlahnya juga tidak terlalu banyak—buku-buku linguistik madzab Eropa-Kontinental, khususnya karya-karya linguistik aliran London dan penerusnya, khususnya yang mengambil perspektif kritis, sebuah aliran yang sekarang terkenal dengan nama studi bahasa kritis, khususnya “linguistik kritis” dan “analisis wacana kritis”. Nama-nama linguis, seperti Halliday, Fowler, Hodge, Kress, Fairclough, van Dijk, Lee, dan Wodak inilah yang lebih banyak saya geluti. Buku, artikel jurnal, dan makalah seminar yang saya tulis (lihat Santoso, 2000; 2003; 2006a; 2006b; 2006c; 2007a; 2007b; 2008a; 2008b; 2008c; 2009a; 2009b) lebih banyak berwajah penerus aliran London itu (kalau boleh disebut demikian). Oleh karena itu, sekali lagi, apabila bahasan dan komentar terhadap karya-karya Pak Effendi tidak seimbang atau keliru cara pandang kemungkinan besar akan terjadi (dan tentu saja saya minta maaf yang sebesar-besarnya).
Di tengah kegamangan itu, sepintas saya teringat kepada seorang tokoh besar kelompok pascastrukturalisme, yakni Roland Barthes, tentang “kematian pengarang”. Barthes (1915—1980) telah menulis sebuah esai monumental tentang The Death of the Author, sebuah konsep yang ingin mendekonstruksi pandangan modernisme tentang peran pengarang dan karyanya. Seperti kita ketahui, terkait dengan peran pengarang dan karyanya, wacana modernisme memandang adanya dua karakteristik. Pertama, modernisme memandang begitu penting dan sentralnya peran pengarang (seniman atau pencipta). Sebuah karya seni atau teks modern selalu diidentifikasikan dengan seniman atau pengarangnya. Kedua, modernisme menganggap sebuah karya sebagai hasil jenius sang seniman atau penulis, suatu karya yang autentik dan unik. Autoritas dan keautentikan ini dilegitimasikan melalui tanda tangan seniman atau hak cipta pengarang.
Sebaliknya, dalam pascamodernisme, pengarang dengan semangat Cartesian tidak lagi punya tempat dalam wacana. Metafora “pengarang sudah wafat” dari Barthes digunakan untuk menggambarkan bahwa tidak ada lagi semangat dan jiwa pengarang dalam karyanya. Pengarang tidak lagi bicara. Wafatnya sang pengarang dalam era posmodern diiringi dengan lahirnya para pembaca (reader) dan berkembangnya model writerly text, yaitu teks yang menjadikan pembaca/teks-teks sebagai pusat penciptaan, daripada pengarangnya sendiri. Pada writerly text, pembaca dibebaskan dari tirani pengarang dan mereka berpeluang untuk berpartisipasi dalam menghasilkan pluralitas makna dalam wacana. Matinya sang pengarang juga diikuti dengan munculnya “kekuatan pembaca” (reader’s power), yaitu adanya kekuasaan pembaca dalam menafsirkan sebuah karangan.
Tentu saja, pertemuan bedah buku ini tetap memiliki nilai manfaat yang besar. Inilah salah satu nafas segar institusi yang berlabel “keilmuan”. Dan inilah hakikat sebuah pendidikan tinggi. Tradisi ini untuk selanjutnya haruslah kita teruskan dengan menganekaragamkan bentuk sesrawungan ilmiah ini, termasuk juga memperluas jangkauan partisipannya.
Untuk selanjutnya, marilah kita memasuki pikiran-pikiran Pak Effendi. Sekali lagi, tidak mudah membaca karya Pak Effendi ini. Untunglah, pengarang telah memberikan bimbingan kepada pembaca melalui tulisan pada bagian awal buku, yakni pada “Pendahuluan”. Bagian ini lebih berupa pemetaan tentang garis besar isi artikel. Secara umum, buku ini membahas persoalan: (1) relativitas dan universalitas bahasa, serta penerapannya dalam pengajaran bahasa, dan (2) puitika, etnopuitika, dan penerjemahan.
Dilihat dari pembidangan keilmuan, artikel-artikel dalam buku ini meliputi bidang linguistik (murni), linguistik terapan, (sosio)antropolinguistik, psikolinguistik, dan (etno)puitika. Sementara itu, buku-buku yang diresensi mencakup bidang linguistik, psikolinguistik, pemerolehan bahasa kedua, dan analisis wacana. Dilihat dari aspek ini, Pak Effendi adalah seorang yang multitalenta, selain seorang linguis, beliau adalah seorang seniman. Judul buku yang sedang kita resensi ini, tampak adanya penerapan rima aliterasi “m-b-m-b”, yang sekaligus juga menunjukkan begitu artistiknya judulnya.
Dilihat dari aktualitas topik dalam artikel, ada beberapa topik yang berkategori “lama”, dan ada yang berkategori “baru”. Yang berkategori lama antara lain tampak pada artikel bertopik relativitas bahasa dan budaya, serta hipotesis Sapir-Whorf. Akan tetapi, karena kedua topik itu dikaitkan dan dihadapkan dengan data-data baru, topik-topik itu masih tetap saja menarik. Ketika relativitas bahasa dan budaya dihadapkan dengan nilai-nilai budaya Jawa dan Indonesia, topik itu terasa memperoleh aksentuasi baru. Dan untuk selanjutnya kita semakin paham mengapa budaya Jawa dan Indonesia seperti itu. Ketika relativitas bahasa dan budaya dikaitkan dengan pengajaran bahasa asing, aksiologi topik itu semakin tampak dan terasa. Bahwa ada dimensi transfer error pada ranah struktur dan kultur yang perlu diwaspadai guru dalam mengajarkan bahasa asing. Ketika hipotesis Sapir-Whorf diujikan kepada ungkap verbal keagamaan orang Indonesia dan orang Amerika, topik yang sudah muncul pada awal abad XX itu semakin nyata kebenaran isi rumusan hipotesisnya, sehingga semakin layaklah apabila hipotesis itu menyandang status “tesis”, bukan hipotesis lagi. Memang ada keuntungan ketika sebuah teori itu berstatus hipotesis. Dengan istilah hipotesis, sebuah teori itu akan terus memancing para peneliti untuk dapat memperkuat dan menggugurkan hipotesis itu. Bahkan, dengan kelakar kita dapat mengatakan bahwa istilah hipotesis akan lebih mengamankan posisi pengarang tentang keakuratan sebuah “teori” itu (jika akurat ya syukur, jika tidak ya tidak apa-apa, wong namanya saja hipotesis).
Meskipun sudah muncul pada dasawarsa 1960-an, topik “gramatika semesta” saya kelompokkan ke dalam topik yang baru seruang dengan topik “teori minimalis Chomsky”. Seperti kita ketahui bersama sampai saat ini perdebatan, penafsiran, dan implementasi gramatika semesta masih terus berlangsung. Itulah mengapa Chomsky dikategorikan ke dalam linguis besar dan tulisan-tulisan kita terasa tidak afdhol apabila tidak mengutip dari buku Chomsky. Bahkan, revolusi linguistik Chomsky sering disejajarkan dengan revolusi Copernicus yang amat melegenda itu. Topik-topik baru seperti etnopuitika, penerjemahan, dan yang lainnya tidak saya komentari dalam tulisan singkat ini.
Pak Effendi menampilkan gramatika semesta lewat sajian kronologis dan pandangan kritisnya. Ketika gramatika semesta Chomsky ditampilkan dalam bentuk seperti itu, topik tersebut dapat memberikan pencerahan dan penajaman tentang perjalanan pikiran-pikiran Chomsky secara lebih komprehensif, keunggulan dan keterbatasannya, bukan dalam bentuk mozaik-mozaik pikiran. Dan ini amat membantu seseorang yang ingin memperdalam pikiran-pikiran pokok Chomsky.
KOMENTAR TERHADAP MENGURAI BAHASA MENYIBAK BUDAYA
Beberapa pokok pikiran yang saya kemukakan untuk memberikan catatan terhadap buku Pak Effendi ini, meliputi (1) prinsip parsimoni dalam kajian bahasa, (2) kajian bahasa: autonom x instrumental, theory of grammar x theory of language, (3) catatan penutup.
Prinsip Parsimoni dalam Kajian Bahasa
Istilah “parsimoni” biasanya digunakan dalam bidang penelitian. Kerlinger (kalau tidak salah) menggunakan istilah parsimoni untuk merujuk pada ketepatan dan kecocokan penggunaan metode analisis tertentu untuk memecahkan masalah yang tertentu pula. Sebuah metode hanya cocok untuk memecahkan masalah tertentu, tetapi tidak cocok untuk memecahkan masalah lainnya. Sebuah nyamuk yang hinggap di pipi perlu diusir dengan menggunakan telapak tangan, dan ini dianggap cocok. Tidaklah perlu digunakan obat penyemprot nyamuk, baygon (maaf kampanye produk), pistol, atau bom (atom). Kelompok terakhir ini tentulah tidak cocok untuk mengusir nyamuk yang membandel itu.
Demikian juga dengan teori linguistik. Teori dalam linguistik itu ibarat resep obat dari dokter spesialis. Satu obat tertentu digunakan untuk mengobati satu penyakit tertentu. Sebaliknya, teori dalam linguistik itu bukan seperti resep jamu—khususnya jamu jawa—yang dapat mengobati pelbagai macam keluhan nyeri dan rasa sakit pada diri seseorang.
Terkait dengan hal tersebut, Pak Effendi sudah melakukannya. Teori-teori yang dipilih memang amat sesuai dengan masalah-masalah yang dibedah, baik secara deduktif maupun induktif. Banyak tulisan di lapangan, beberapa penulis menggunakan dan mengaplikasikan sebuah teori secara sembarang. Cocokkah mengaji dialog dalam prosa fiksi (novel, cerpen) dengan menggunakan “prinsip kerjasama” Grice? Apa yang diperoleh dari kajian bahasa iklan dengan menggunakan pisau linguistik struktural? Bagaimana jika bahasa kampanye ditinjau dari teori keefektifan kalimat? Apa yang dapat dijelaskan dengan kajian tindak ujaran Searle dan Austin terhadap bahasa politik? Apa yang dapat diungkap dari rahasia bahasa politik jika dianalisis dengan prinsip kerjasama Grice? Jawaban apa yang dapat diperoleh dari kajian “wacana Inul Daratista” dari aspek tekstualitasnya saja, dengan tidak memperhatikan intertekstualnya? Dalam pandangan saya, kajian-kajian itu memaksakan diri dan menghasilkan penjelasan yang amat lemah dan tidak pas, seperti seorang ibu mengiris tempe dengan gergaji kayu. Tempenya memang terpotong, akan tetapi tidak menghasilkan bentuk-bentuk tertentu yang diinginkan, bahkan mungkin saja banyak bagian yang tercerai berai. Tentu saja, bidang-bidang itu harus dikaji dengan pendekatan dan teori linguistik yang cocok.
Kajian Bahasa: Autonom vs Instrumental
Kajian bahasa sering dan selalu terkait dengan dikotomi. Ada dikotomi “filosofis-logis” x “deskriptif etnografis”; ada dikotomi “formalisme” x “fungsionalisme”; ada dikotomi “sistemik” x “kontekstual”; ada dikotomi theory of grammar x theory of language; ada dikotomi “deskriptif” x “kritis”. Dikotomi ini hanya untuk memudahkan pemetaan dan pemahaman.
Bahasa sejak dahulu hingga sekarang telah memberikan andil besar bagi perkembangan peradaban manusia. Melalui simbol-simbol bahasa, karya intelektual, budaya manusia, dilestarikan dan ditransformasikan dari satu periode generasi ke generasi berikutnya.
Lewat bahasa, manusia dapat menyampaikan dan mengembangkan pemikirannya dalam aneka wujud kebudayaan. Simbol-simbol bahasa memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Dunia di sekeliling kita mempunyai makna karena diberi makna oleh sistem bahasa yang dimiliki oleh manusia.
Bahasa adalah sine qua non bagi kebudayaan dan manusia. Lewat bahasa, manusia mengabstrakkan seluruh pengalaman empiris, rasional, dan spiritualnya secara konseptual, sistematis, dan terstruktur yang pada gilirannya mengantarkan lahirnya dunia simbolik yang melewati sekat-sekat ruang dan waktu.
Dunia manusia tidak dibatasi lagi oleh realitas fisik, tetapi dengan bahasa manusia sanggup memasuki dunia lain yang jauh lebih luas dan kompleks. Dengan bahasa, manusia dapat mengungkap makna-makna yang tersembunyi dari dunia lain. Bahasa bagi manusia telah mendorongnya untuk memperluas cakrawala dunia. Nama-nama yang ada dalam cakrawala dunia diberi label sehingga dengan label ini manusia menciptakan jaringan komunikasi dan membangun makna-makna. Akhirnya, pelbagai rahasia alam pun menjadi terungkap kerahasiannya.
Inilah mengapa bahasa selalu menarik untuk dikaji dan mengapa bahasa selalu dikaji sepanjang peradaban manusia. Mereka mengaji bahasa dengan menggunakan perspektif masing-masing. Kaum strukturalisme, pragmatisme, posmodernisme, misalnya, menggunakan cara pandang masing-masing yang mungkin saja berbeda dalam mengaji bahasa manusia.
Ketika bahasa dipandang sebagai langue (dalam dikotomi Saussure) atau tataran competence (dalam dikotomi Chomsky) maka bahasa terwujud sebagai sesuatu yang homogen. Kajian pada tataran ini selalu akan berakhirnya dengan lahirnya sistem kaidah, atau gramatika semesta yang sifatnya abstrak. Sebaliknya, ketika bahasa dipandang sebagai parole (dalam dikotomi Saussure) atau performance (dalam dikotomi Comsky) maka bahasa terwujud sebagai sesuatu yang heterogen. Kajian pada tataran ini akan menghasilkan sebuah teori umum yang utuh dengan menyertakan konteks penggunaan sosial-budaya.
Untuk memetakan buku Mengurai Bahasa Menyibak Budaya karya Pak Effendi, saya mengambil dikotomi autonom versus instrumental. Dikotomi ini saya ambil dari pandangan Halliday (1978). Dalam wawancara dengan Herman Parret, Halliday menerima pandangan bahwa linguistik menjadi “linguistik instrumental”, yakni kajian bahasa untuk memahami sesuatu yang lain. Dengan demikian, sebuah linguistik instrumental memiliki relevansi karakteristik dengan tujuan yang akan dicapai. Dalam linguistik instrumental, juga mempelajari hakikat bahasa sebagai fenomena keseluruhan. Oleh karena itu, menurut Halliday (1978:36) tidak ada konflik atau kontradiksi antara “linguistik instrumental” dengan “linguistik autonom”. Linguistik instrumental merupakan kajian bahasa untuk memahami sesuatu yang lain, misalnya memahami sistem sosial atau sistem budaya, sistem yang berada di luar bahasa itu. Linguistik autonom merupakan kajian bahasa untuk memahami sistem dalam linguistik itu sendiri, misalnya menemukan gramatika semesta.
Linguistik instrumental ini sebenarnya dapat dilacak pada linguistik fungsional-sistemik Halliday. Dalam pandangan Fowler (1996) istilah fungsional dalam linguistik fungsional memiliki dua pengertian. Pertama, linguistik fungsional berangkat dari premis bahwa bentuk bahasa merespon fungsi-fungsi penggunaan bahasa. Kedua, linguistik fungsional berangkat dari asumsi-asumsi linguistik, seperti juga bahasa, memiliki fungsi-fungsi berbeda dan tugas-tugas berbeda. Dengan demikian, bentuk linguistik akan merespon fungsi-fungsi linguistik itu.
Dan karya Pak Effendi telah bergerak antara yang autonom—misalnya artikel tentang Chomsky—ke yang instrumental—misalnya artikel terjemahan dan metafora. Keberagaman artikel itu dalam pandangan saya malah menjadi sebuah jalinan karya ilmiah yang indah. Apalagi, dalam pelbagai artikel muncul istilah yang puitis dan tajam yang culturally bound.
Kajian bahasa dengan teori apa pun yang sering diperlakukan secara dikotomi—apakah yang linguistik autonom atau yang instrumental, apakah yang sistemik atau yang kontekstual, apakah yang formal atau yang fungsional, apakah yang theory of grammar atau yang theory of language, apakah yang filosogis-logis atau yang deskriptif-etnografis—selalu akan selalu berusaha mengungkap hakikat manusia sebagai animal symbolicum (meminjam istilah E. Cassirer). Atau kita dapat mengikuti pandangan Kaswanti Purwo (2006) bahwa kedua jenis kajian itu tidak perlu dipertentangkan, tetapi dapat saling menggalang kerjasama karena dapat saling melengkapi ke arah usaha bersama kita (linguis): makin memahami dalam upaya kita mengupas misteri mengenai bahasa manusia. Sekali lagi, kedua cara pandang tidak perlu dipertentangkan.
Catatan Akhir
Jelaslah, artikel-artikel Pak Effendi bagaikan pendulum yang terus bergerak dari yang autonom ke yang instrumental, dari yang sistemik ke kontekstual, dari yang universal ke yang relatif, dari theory of grammar ke theory of language, dari yang formal ke yang fungsional, dari yang universal ke yang relatif. Maka, lengkaplah Pak Effendi sebagai linguis Indonesia.
Dalam beberapa komunikasi pribadi, saya menantang Pak Effendi untuk membumikan pikiran-pikiran Chomsky yang menurut saya amat rumit dan sulit dipahami ini menjadi sebuah karya linguistik yang “mudah saya pahami”. Bagaimana tata bahasa keilmuan Chomsky dibahasakan menjadi tata bahasa pendidikan Chomsky menjadi tantangan bagi Pak Effendi meskipun beberapa pakar linguistik seperti Mangasa Silitonga dan Yus Badudu memandang ketidakmungkinan menggunakan teori generatif untuk tatabahasa pendidikan (pedagogical grammar). Untuk itulah, agar pikiran-pikiran Chomsky tidak hanya terbatas dalam lingkungan akademik di perguruan tinggi atau organisasi profesi, ada baiknya Pak Effendi menata ulang pikiran-pikiran Chomsky dalam bahasa yang “lebih gaul”.
Terima kasih.
Bumi Mangliawan, awal Desember 2009.
DAFTAR PUSTAKA
Birch, D. 1996. Critical Linguistics as Cultural Process. Dalam James, J.E. (Ed.), The Language-Culture Connection (hlm. 64—85). Singapore: SEAMEO Regional Language Centre.
Chomsky, N. 1977. Language and Responsibility. New York: Pantheon Books.
Fairclough, N. 1985. Critical and Descriptive in Discourse Analysis. Journal of Pragmatics, 9: hlm. 739—763.
Fairclough, N. 1989. Language and Power. New York: Longman Group UK Limited.
Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Harlow-Essex: Longman Group Limited.
Fairclough, N. 1995. Pendahuluan. Dalam Fairclough, N. (Ed.), Kesadaran Bahasa Kritis (hlm. 1—34). Terjemahan oleh Hartoyo. Semarang: IKIP Semarang Press.
Fairclough, N. 1995. Ketepatan dari “Tepat”. Dalam Fairclough, N. (Ed.), Kesadaran Bahasa Kritis (hlm. 37—61). Terjemahan oleh Hartoyo. Semarang: IKIP Semarang Press.
Fowler, R. 1985. Power. Dalam van Dijk, T. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 61—82). London: Academic Press.
Fowler, R. 1986. Linguistic Criticism. Oxford: Oxford University Press.
Fowler, R. 1991. Language in The News: Discourse and Ideology in the Press. London & New York: Routledge.
Fowler, R. 1996. On Critical Linguistics. Dalam Caldas-Coulthard, C.R. & Coulthard, M. (Eds.), Texts and Practices: Reading in Critical Discourse Analysis (hlm. 3—14). London: Routledge.
Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotic: The Social Interpreta-tion of Language and Meaning. Victoria: Edward Arnold Pty Ltd.
Hodge, R. & Kress, G. 1993. Language as Ideology. Second Edition. London & New York: ROUTLEDGE.
Kaswanti Purwo, B. 2006. Linguistik Formal dan Linguistik Fungsional. Makalah disajikan dalam Semiloka Nasional “Linguistik Fungsional Sistemik” yang diselenggarakan oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, UNJ Jakarta, 9—10 November.
Lee, D. 1992. Competing Discourse: Perspective and Ideology in Language. London & New York: Longman.
Piliang, Yasraf A. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
Santoso, Anang. 2000. Paradigma Kritis dalam Kajian Kebahasaan. Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 28(2): hlm. 127—146.
Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Penerbit Weda-tama Widya Sastra (WWS).
Santoso, Anang. 2006a. Jejak-Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana Kritis. Disajikan pada Konferensi Linguistik Fungsional-Sistemik, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jakarta, tanggal 26 Desember.
Santoso, Anang. 2006b. Media Massa, Bahasa, dan Perspektivitas: Kajian Linguistik Kritis. Disajikan pada Seminar Regional Membaca Kuasa Media Massa dalam Rangka Lustrum Universitas Brawijaya Malang, tanggal 17 Oktober.
Santoso, Anang. 2006c. Bahasa, Masyarakat, dan Kuasa: Topik-Topik Kritis dalam Kajian Ilmu Bahasa. Diktat Matakuliah Sosiolinguistik. Malang: Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.
Santoso, Anang. 2007a. Ilmu Bahasa dalam Perspektif Kajian Budaya. Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 35(1): hlm. 1—15.
Santoso, Anang. 2007b. Beberapa Catatan tentang Bahasa Perempuan: Perspektif Wacana Kritis. Diksi: Jurnal Ilmiah Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 14(2): hlm. 111—121.
Santoso, Anang. 2008a. Bahasa sebagai Faktor Integrasi dan Disintegrasi Bangsa. Disajikan dalam Studium General Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), UPT Pengelola Matakuliah Universiter (UPMU), Universitas Negeri Malang, 23 Januari.
Santoso, Anang. 2008b. Teori Wacana: Dari Perspektif Deskriptif ke Kritis. Disajikan pada Pencerapan Teori Wacana dalam Rangka Meningkatkan Mutu SDM Peneliti Bahasa, Balai Bahasa Jawa Timur, Surabaya, tanggal 15 September.
Santoso, Anang. 2008c. Penggunaan Gramatika dalam Wacana Politik: Studi Representasi Bahasa sebagai Sistem Makna Sosial dan Politik. Diksi: Jurnal Ilmiah Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 15(2): hlm. 221—233.
Santoso, Anang. 2009a. Bahasa Perempuan Sebuah Potret Ideologi Perjuangan. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Santoso, Anang. 2009b. Bahasa sebagai Media Kekuasaan: Menggugat Kekerasan Simbolik dalam Wacana Publik. Disajikan pada Seminar bertajuk Bahasa sebagai Media Kekuasaan, Senat Mahasiswa FBS Universitas Negeri Surabaya (Unesa), 15 Februari.
Silitonga, Mangasa. 1990. Tata Bahasa Transformasional Sesudah Teori Standar. Dalam Kaswanti Purwo, Bambang (Ed.), PELLBA 3: Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya Ketiga (hlm. 23—47). Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS.
Selasa, 11 Mei 2010
BAHASA PEREMPUAN: SEBUAH POTRET IDEOLOGI PERJUANGAN
Fakultas Sastra UM
Bahasa perempuan dapat disikapi sebagai wacana, yakni cara membahasakan peristiwa, pengalaman, pandangan, dan kenyataan hidup tertentu. Bahasa perempuan selalu merepresentasikan model pandangan hidup tertentu, yakni gambaran sebuah konstruksi dunia yang bulat dan utuh tentang ide hidup dan kehidupan yang sudah ditafsirkan dan diolah oleh perempuan. Bahasa perempuan adalah representasi gaya tutur kooperatif, yang membedakannya dengan gaya kompetitifnya bahasa laki-laki.
Bahasa perempuan juga dapat dipandang sebagai perjuangan simbol wacana subordinatif. Setiap interaksi sosial lintas−jender selalu menggunakan simbol−simbol yang menyediakan pelbagai perangkat tanda untuk melakukan perjuangan, penggugatan, atau pertarungan terhadap wacana hegemonik. Dalam kenyataannya, makhluk perempuan banyak mengalami kekerasan simbolik. Sebutan, predikat, stereotipe, jargon, motto, semboyan, olok-olok, plesetan, bahkan syair lagu pun menjadi tempat kekerasan simbolik itu. Kekerasan simbolik bekerja dengan menyembunyikan pemaksaan dominasi yang akhirnya diterima begitu saja oleh kelompok subordinatif sebagai sesuatu “yang memang seharusnya demikian”. Mereka yang terdominasi menjadi ikhlas untuk dikuasai dan berada dalam cengkeraman dominasi tanpa sikap kritis.
Wacana−wacana yang muncul dari budaya patriarki telah menciptakan male-gaze, yakni sebuah cara pandang yang selama ini berlaku begitu saja pada laki-laki, dan cara pandang ini bisa saja tidak sama, berbeda, bertolak belakang, berlawanan dengan cara pandang perempuan. Salah satu agenda pokok yang harus dilakukan oleh perempuan adalah “bertarung” dalam pembentukan dan penafsiran wacana publik (public discourse). Setiap ranah—di mana pun dan kapan pun—akan selalu terdapat pertarungan antara “yang mendominasi” dan “yang didominasi”, antara self dan others. Dengan menggunakan modal yang dimilikinya—misalnya kepandaian, kekuasaan, dan kemashuran—perempuan sudah seharusnya terlibat secara aktif-kreatif dalam pembentukan dan penafsiran wacana publik yang lebih berwajah perempuan—atau paling tidak—tidak resisten pada perempuan.
Sumber: Santoso, Anang. 2009. Bahasa Perempuan Sebuah Potret Ideologi Perjuangan. Jakarta: Penerbit BUMI AKSARA.
Senin, 10 Mei 2010
ANALISIS WACANA KRITIS PEMANFAATAN METAFORA DALAM BAHASA POLITIK
Fakultas Sastra UM
(1)
Tulisan ini mencoba mengkritisi penggunaan bahasa, khususnya matafora, oleh elite politik pada era pasca-Orde Baru. Pada era ini metaforabersama dengan piranti linguistik lainnyabegitu intensif digunakan oleh para elite untuk kepentingan politiknya. Metafora itu digunakan untuk menyembunyikan ideologi tertentu yang ingin diperjuangkan oleh elite politik. Penggunaan metafora dapat mempengaruhi persepsi masyarakat tentang dunia. Dengan penuh kesadaran, elite politik membawa masyarakat ke dalam cara pandang tertentu. Sebaliknya, secara bawah sadar masyarakat mengikuti cara pandang yang dinaturalisasikan oleh para elite politik itu. Bahkan, masyarakat begitu saja menerima cara pandang elite politik itu sebagai sebuah kebenaran tanpa pernah mengkritisi cara pandang itu.
(2)
Apakah metafora itu? Metafora adalah ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari lambang yang dipakai karena makna yang dimaksud terdapat pada predikasi ungkapan kebahasaan itu (Wahab, 1990:142). Metafora juga mengandung makna tentang pemahaman dan pengalaman atas sejenis hal yang dimaksudkan dengan perihal yang lain. Hal ini senada dengan pendapat Richards, Platt, & Platt (1992:139) bahwa dalam metafora sesuatu yang dideskripsikan diganti dengan uraian lain yang dapat dibandingkan. Pandangan yang sama juga ditemukan pada Beard (2000:19) bahwa metafora “refer to when a word or a phrase is used which establish a comparison between one idea and another”.
Metafora sering didayagunakan dalam bahasa politik. Metafora sering digunakan mengkonkretkan konsep yang abstrak, untuk mengaburkan maksud, dan untuk menguatkan pesan ideologi. Pada era pasca-Orde Baru metafora banyak digunakan oleh elite politik. Meskipun metafora hanyalah salah satu aspek wacana politik, tetapi memahami metafora adalah langkah awal memahami bahasa politik secara keseluruhan. Seorang elite politik era pasca-Orde Baru pernah mendayagunakan metafora seperti (1) berikut.
(1) “Pemerintahan Soeharto adalah rezim bercakar tajam”.
Pada (1) terdapat frasa “rezim bercakar tajam” untuk membandingkan sebuah era pemerintahan di Indonesia dengan binatang buas, karnivora, atau binatang yang diidentikkan dengan harimau atau singa. Dengan membaca atau mendengar metafora tersebut orang dapat mengidentifikasikan bagaimanakah karakter pemerintahan di Indonesia semasa dipimpin oleh mantan Presiden Soeharto. Tentu saja frasa “rezim bercakar tajam” mengandung makna ‘menakutkan’, ‘menggunakan kekuatan fisik’, ‘kasar’, dan sifat negatif lainnya.
(3)
Apakah politik itu? Ada baiknya kita mengingat pernyataan George Orwell bahwa “in our age there is no keeping out of politics, all issues are political issues” (Jones & Wareing, 1999:32). Pandangan Orwell menunjukkan bahwa ranah politik itu begitu luas. Politik itu berkenaan dengan kekuasaan, yakni kekuasaan untuk membuat keputusan, mengendalikan sumberdaya, mengendalikan perilaku orang lain, dan sering juga mengendalikan nilai-nilai yang dianut orang lain. Bahkan, keputusan-keputusan biasa yang dibuat dalam kehidupan sehari-hari pun bisa dipandang dari sudut politik.
Politik dapat mencakup banyak jenis kegiatan, mulai dari (1) proses pembuatan kebijakan nasional (politik pemerintahan), (2) kesetaraan gender (politik seksual), (3) persaingan dalam kelompok yang erat jalinannya, seperti persaingan antarrekan sekantor dalam memperebutkan jabatan, yang biasanya dilakukan dengan membocorkan atau menyimpan rahasia (politik kantor), (4) cara orang menegosiasikan peran yang harus mereka jalankan dalam kehidupan pribadi mereka (termasuk juga masalah gender), (5) sejarah dari sistem politik, (6) kegiatan-kegiatan yang terkait dengan transportasi, permukiman dan konsumsi yang bisa mempengaruhi lingkungan (politik lingkungan). Jika menilik luasnya jangkauan politik tersebut, kita sebenarnya tidak dapat terlepas dari masalah politik.
Pertanyaan selanjutnya, apakah bahasa politik itu? Bahasa politik adalah bahasa yang digunakan oleh elite politik dalam memperjuangkan kepentingan politik tertentu. Bahasa politik memperoleh tempat yang strategis karena pelbagai kepentingan elite diperjuangkan melalui bahasa yang dikemas dalam cara tertentu. Sesuatu yang sebenarnya hanya bersifat kepentingan individu dikemas menjadi sesuatu yang tampaknya menjadi kepentingan banyak orang. Sesuatu yang sebenarnya hanya kepentingan kelompok dikemas menjadi sesuatu yang tampaknya menjadi kepentingan nasional.
Terkait dengan bagaimana kita menggunakan bahasa politik, ada baiknya kita mengikuti saran Orwell (dalam Jones & Wareing, 1999:39) seperti berikut.
a. Jangan menggunanakan metafor atau perumpamaan atau gaya bahasa lain yang sudah biasa Anda lihat di media cetak;
b. Jangan menggunakan kata yang panjang kalau kata yang pendek sudah mampu mengemukakan maksud yang sama;
c. Kalau ada kata yang tidak perlu digunakan, buang kata itu;
d. Jangan menggunakan bentuk pasif kalau bisa menggunakan bentuk aktif;
e. Jangan menggunakan istilah asing, istilah ilmiah atau jargon kalau ada padanan kata dalam kosakata sehari-hari yang maknanya sama; dan
f. Semua aturan di atas lebih baik dilanggar daripada harus mengatakan hal-hal yang buruk.
Saran Orwell itu ditujukan kepada para elite politik, bahkan pelaku komunikasi yang secara umum agar komunikasi yang tercipta dapat menjadi jelas, jujur, dan mudah dipahami. Apabila para elite politik mengikui saran Orwell di atas tentu komunikasi yang tercipta akan ideal.
Ternyata, fakta menunjukkan bahwa komunikasi yang ada jauh dari ideal. Banyak orang yang skeptis dengan penggunaan bahasa dalam politik. Bahkan, menurut Orwell bahasa politik adalah “pembelaan terhadap sesuatu yang tidak pantas dibela”. Mungkin saja, pandangan Orwell itu terlalu ekstrem, terlalu negatif. Tentu saja, kita paham bahwa tidak semua elite politik berbahasa seperti itu. Masih ada elite politik yang bahasanya jelas, jujur, dan mudah dipahami. Mungkin sikap yang moderat adalah selalu memasang sikap kritis terhadap bahasa yang digunakan oleh elite politik. Apa yang terhadir di depan kita harus selalu kita sikapi secara kritis. Jangan langsung percaya begitu saja dengan bahasa elite politik itu. Mungkin saja, para elite politik menyembunyikan ideologinya melalui bahasa yang digunakan. Untuk kepentingan kritis, kita dapat menggunakan pisau analisis wacana kritis dari Roger Fowler (1989) dan Norman Fairclough (1995).
(4)
Dalam dunia politik, analisis terhadap metafora merupakan langkah awal memahami bahasa politik. Metafora disematkan ke dalam cara bagaimana kita mengkonstruksikan dunia di sekitar kita, dan cara dunia dikonstruksikan oleh orang lain kepada kita. Gibbs mengemukakan tiga catatan penting berkaitan dengan metafora politik (Beard, 2000:22). Pertama, metafora bukan hanya sebagai alat retoris semata-mata, tetapi menunjukkan bagaimana masyarakat memahami politik. Kedua, kunci metafora politik melibatkan konsep-konsep “musuh” dan “lawan”, melibatkan konsep-konsep “pemenang” dan “pecundang”. Ketiga, metafora tidak memberikan saran bahwa sebuah pemerintahan dapat dicapai melalui diskusi, kerjasama, dan bekerja bersama-sama. Dalam pandangan Beard (2000:21) sumber metafora secara umum berkaitan dengan “olahraga” dan “perang”, yang keduanya melibatkan pertandingan fisik dalam pelbagai cara.
Elite politik Indonesia pasca-Orde Baru pernah menggunakan metafora terkait dengan “olahraga” seperti contoh (2) berikut.
(2) Banyak partai politik di Indonesia yang mencuri start kampanye.
Frasa “mencuri start” dalam kalimat (2) diambil dari dunia olahraga atletik atau renang. Dalam olahraga, frasa itu digunakan apabila ada seorang pelari yang mendahului start sebelum aba-aba mulai dibunyikan. Apabila ada yang “mencuri start” maka etlet itu dianggap curang dan tidak sah. Maka, langkah selanjutnya adalah mengulangi lagi start tersebut. Dalam dunia politik, penggunaan frasa “mencuri start” mengandung makna ‘sarkasme’. Metafora politik yang diambil dari dunia olahraga juga mengandung pengertian bahwa ada “pemenang” dan ada “pecundang”.
Elite politik Indonesia juga ada yang mendayagunakan metafora dari dunia “peperangan”, seperti contoh (3) dan (4) berikut.
(3) Golongan Karya adalah partai yang sering melakukan serangan fajar.
(4) Menurut saya apa yang dilakukan oleh partai-partai yang melakukan komunike adalah hanya merupakan manuver politik saja, bahkan itu bisa jadi merupakan bentuk ketidakpercayaan diri partai tersebut dengan kekuatan mereka serta khawatir dengan kekuatan Golkar.
Frasa “serangan fajar” pada kalimat (3) berarti menyerang musuh secara lebih awal, sebelum musuh terbangun dari tidur lelapnya. Konsep “musuh” juga dibawa ke dalam ranah politik. Dalam dunia politik, frasa itu digunakan dalam pengertian memberikan bantuan terhadap calon pemilih agar memilih partai atau orang yang dipilih dan dilakukan pada pagi hari sebelum hari-H pemilihan itu dilakukan. Dengan demikian, penggunaan “serangan fajar” dalam wacana politik membawa makna ‘kekerasan’, ‘mendahului musuh’, dan ‘sarkasme’. Frasa “manuver politik” pada kalimat (4) mengandung makna bahwa apa yang dilakukan oleh partai yang dimaksud diibaratkan dengan kapal atau pesawat perang. Secara etimologis, kata “manuver” merupakan istilah untuk aktivitas kapal atau pesawat dalam peperangan atau latihan perang yang membentuk formasi gerakan tertentu. Dalam “manuver” secara umum terkandung makna ‘sulit dilakukan’, mengandung keberanian’, dan ‘terdapat efek bahaya’. Perhatikan juga contoh (5) berikut.
(5) Kemudian, pengebirian proses demokratisasi atas pembangunan ekonomi justru menjadi bumerang. Hari ini ekonomi kita sangat terpuruk, utang luar negeri kita menumpuk, serta masyarakat dan politisi tak terberdayakan.
Kata “pengebirian” pada kalimat (5) diambil dari dunia binatang. Binatang yang dikebiri adalah binatang yang dihilangkan kejantanannya. Dengan demikian, jika digunakan dalam wacana politik, “pengebirian” mengandung makna ‘menghilangkan sendi-sendi yang amat pokok atau fundamental” dalam perdemokrasian. Kata “pengebirian” mengandung makna ‘sarkasme’ karena membandingkan persoalan-persoalan kemanusiaan dengan kebinatangan. Tentu kita dapat memilih kosakata lain yang lebih humanis.
Demikian juga kata “bumerang” diambil dari dunia peperangan atau persenjataan. Bumerang adalah jenis senjata yang dimiliki suku Aborigin di Australia yang memiliki kekhasan dapat kembali kepada pemiliknya setelah senjata itu digunakan untuk kepentingan tertentu. Jika kata itu digunakan dalam wacana politik, kata “bumerang” juga bernuansa sarkasme.
(5)
Dari paparan di atas, diperoleh pemahaman bahwa bahasa begitu intensif digunakan dalam wacana politik oleh para elite politik. Bahasa yang digunakannya itu dapat mempengaruhi cara pandang kita terhadap dunia. Bahasa itu membawa kepada perspektif tertentu. Bahasa politik itu telah membawa masyarakat ke dalam posisi tertentu. Masyarakat sering tidak sadar berada di posisi itu dan menganggapnya sebagai sebuah kewajaran dan memang harus begitu. Bahkan, masyarakat secara gelap mata ikut mati-matian membela cara pandang itu tanpa mengetahui plus dan minusnya pandangan itu. Dalam kondisi ini masyarakat tidak menjadi kritis lagi. Kita harus sadar bahwa bahasa politik ada di sekeliling kita setiap hari, dan kita sendiri juga menggunakannya. Karena sifatnya yang selalu ideology soaked, bahasa yang digunakan oleh para elite politik—termasuk di dalamnya metafora—perlu dikritisi, selalu ditanyakan pada diri sendiri “apa yang ingin diperjuangkan oleh elite politik itu”. Terima kasih!
DAFTAR RUJUKAN
Beard, Adrian. 2000. The Language of Politics. London: Routledge.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Harlow-Essex: Longman Group Limited.
Fowler, Roger. 1989. Language and Power. Harlow-Essex: Longman Group Limited.
Jones, Jason & Wareing, Shân. 1999. Language and Politics. Dalam Thomas, Linda & Wareing, Shân (Eds.), Language, Society, and Power (pg. 31—46). London: Routledge.
Richards, J.C., Platt, J., & Platt, H. 1992. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics. Second Edition. Harlow-Essex: Longman Group UK Limited.
Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca-Orde Baru. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra.
Wahab, Abdul. 1990. Butir-Butir Linguistik. Surabaya: Airlangga University Press.
(Dr. Anang Santoso adalah dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang (UM). Makalah dipresentasikan dalam Seminar Internasional dengan tema “Developing Critical Thinking in a Democratic Society”, yang dilaksanakan oleh Universitas Negeri Malang, tanggal 19 Agustus 2004.)
Sabtu, 08 Mei 2010
BAHASA, MEDIA MASSA, DAN PERSPEKTIVITAS: KAJIAN WACANA KRITIS
Anang Santoso[1]
Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang (UM)
Media merupakan tema menarik untuk selalu dikaji dan didiskusikan, baik dalam kapasitas diskusi yang berat (melalui saluran akademik dan analisis teoretik) maupun gaya diskusi ringan, yang biasanya dilakukan sambil lalu melalui sindiran sinis atau pun dengan gurauan. Demikianlah tulis Sumrahadi dalam kata pengantar buku Media, Budaya dan Moralitas, sebuah buku terjemahan karangan Keith Tester. Ya, masalah media tidak akan pernah berhenti untuk selalu dikupas dari berbagai disiplin ilmu. Dalam mendikusikan media orang akan selalu berpusat pada pertanyaan who says what, to whom, with what channel and with what effect, demikian tambah Sumrahadi mengana-logikan rumusan sederhana dari Harold D. Lasswel.
Tulisan ini juga akan mencoba menjelajahi lorong-lorong persoalan media, khususnya kaitannya dengan bahasa dan perpektivitas. Mengapa media? Ya, media menduduki sebagai unsur wajib dalam peradaban sekarang. Mengapa bahasa? Ya, bahasa merupakan medium utama dalam media. Mengapa perspektivitas? Ya, bahasa yang dipilih akan menentukan sebuah perpektivitas dalam memandang sesuatu. Hanya saja, para konsumen media sering berada pada posisi tidak sadar keberadaannya.
MEDIA MASSA
Bahwa peran media dalam abad informasi ini begitu amat penting setiap orang tidak akan menolak. Bahwa media merupakan conditio sine qua non bagi era informasi setiap kepala akan menyetujuinya. Bahwa media menjalankan fungsi-fungsi: informasi, hiburan, dan pendidikan—seperti pandangan Thornborrow (1999:49)—kita semua akan menganggukkan kepala tanda setuju. Bahkan, keberadaan media dalam keluarga menjadi parameter bagai keluarga, maju atau tidak, modern atau tidak. Media yang dalam teori ekonomi tradisional menjadi kebutuhan tersier akhirnya menjadi kebutuhan primer sejajar dengan makan, sandang, dan papan. Begitu pentingnya peran media dalam kehidupan manusia, media yang pertama lahir untuk memberikan kemudahan bagi manusia akhirnya menjadi sesuatu yang menggeser alur kehidupan manusia. Sudah banyak penelitian menunjukkan hal itu. Sampai-sampai Jalaluddin Rakhmat (1997:235—242) menyebut televisi sebagai institusi media sebagai “Tuhan Pertama” (The First God ). Manusia yang semula menempatkan media dalam mengisi “waktu senggang” mereka, sekarang malahan menempatkan media dalam jadwal utama mereka. Media telah menimbulkan efek penjadwalan kegiatan pada masyarakat, mereorganisasikan kegiatan sehari-hari yang bisa saja menjadi tidak produktif karena telah mengubah siklus kegiatan rutinnya.
Media massa adalah situs yang amat kuat untuk produksi dan sirkulasi makna-makna sosial. Media massa menyediakan jalan masuk ke berbagai-bagai informasi. Media massa akan merepresentasikan kemungkinan besar kekuatan dalam masyarakat kita. Media massa dapat menyeleksi berita: siapa yang masuk media, siapa yang dikedepankan atau didahulukan—sekaligus siapa yang dikebelakangkan atau dikemudiankan--dalam berita, bagaimana peristiwa itu diceritakan, siapa yang diwawancarai, dan sebagainya.
Media massa harus dipahami sebagai sebuah institusi yang kompleks. Institusi ini dicirikan dengan seperangkat proses, praktik, dan konvensi tempat masyarakat di dalamnya dikembangkan dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Praktik-praktik itu akan berpengaruh terhadap apa yang dirasakan dan apa yang diharapkan konsumen media. Praktik-praktik itu juga akan berpengaruh terhadap bagaimana cara melihat terhadap realitas kehidupan. Misalnya, media massa yang sering dikuasai cara berpikir Barat memandang dunia seperti orang barat memandangnya
Media massa selalu diambil begitu saja sebagai bagian integral dari banyak kehidupan masyarakat. Mereka secara bawah sadar meniru, mengulangi, menggunakan apa yang ada dalam media massa. Representasi yang terjadi dalam media diambil begitu saja menjadi apa yang disebut akal sehat. Para konsumen tidak pernah lagi mengkritisi apa yang sudah dipilihnya itu. Mereka akan selalu menganggap bahwa apa yang diperolehnya dari media itu adalah sebuah kebenaran mutlak, bukan sebuah pilihan.
Para pengamat, sudah banyak mengemukakan beraragam keluh kesahnya berkenaan dengan peran media dalam kehidupan masyarakat. Ada yang menyebut bahwa media telah menunjukkan superioritas ideologi Barat. Media telah menciptakan wacana dominan bagi masyarakat Timur yang terjajah. Wacana kebenaran adalah informasi yang dihasilkan kantor berita Barat. Mereka telah menciptakan rejim kebenaran bagi masyarakat di negara-negara berkembang. Media massa, terutama TV, juga dipandang telah menimbulkan pemiskinan imajinasi sosial. TV juga telah memasarkan pesan-pesan hedonisme dan pemujaan konsumsi dan materialisme. Banyak acara yang amat menonjolkan pemujaan dan eksploitasi tubuh. TV juga dituduh telah menghancurkan ruang private bagi pribadi dan keluarga. Bahkan, TV juga dipersalahkan dalam melanggengkan budaya orality sehingga budaya baca-tulis (literacy) menjadi tidak terpupuk secara baik. Dan sebagainya dan seterusnya.
Bagaimana kita menempatkan diri dalam sebuah era di mana kehadiran media sudah tidak terhindarkan lagi. Ada yang menyarankan, misalnya kelompok Freirean, perlunya melahirkan media tanding (counter media), yakni media rakyat, untuk memberikan imbangan terhadap kehadiran mereka. Ada yang menyarankan perlunya mengembangkan sikap-sikap kritis, eksploratoris, selektif, intelektualitas, rasionalitas, kedewasaan mental, dan imajinatif.
Ada baiknya kita mengapresiasi dua pandangan atau paradigma—positivisme dan konstruksionisme--dalam melihat peran media. Marilah kita memperhatikan dua pandangan tersebut.
No | Aspek | Positivisme | Konstruksionisme |
1 | Hakikat fakta | Ada fakta yang riil yang diatur oleh kaidah-kaidah yang berlaku universal. | Fakta merupakan konstruksi atas realitas. Kebenaran suatu fakta bersifat relatif, berlaku sesuai konteks tertentu |
2 | Hakikat media | Media sebagai saluran pesan. | Media sebagai agen konstruksi pesan. |
3 | Hakikat berita | Berita adalah cermin dan refleksi dari kenyataan. Berita harus sama dan sebangun dengan fakta yang diliput. | Berita tidak mungkin cermin dan refleksi realitas. Berita yang terbentuk merupakan konstruksi atas realitas. |
4 | Sifat berita | Berita bersifat objektif, menyingkirkan opini dan pandangan subjektif dari pembuat berita. | Berita bersifat subjektif. Opini tidak dapat dihilangkan karena saat meliput wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. |
5 | Hakikat wartawan | Wartawan sebagai pelapor. | Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. |
6 | Produksi berita | Nilai, etika, opini, dan pilihan moral berada di luar proses peliputan berita. | Nilai, etika, atau keberpihakan wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu peristiwa. |
7 | Penafsiran pembaca | Berita diterima sama dengan apa yang dimaksudkan oleh pembuat berita. | Khalayak mempunyai penafsiran sendiri yang bisa jadi berbeda dari pembuat berita. |
Sumber: Eriyanto (2002)
Kelompok konstruksionis sekarang banyak mendominasi cara pandang terhadap media. Bagi saya, sikap dan posisi yang seharusnya diambil masyarakat dalam memandang dan memperlakukan media juga sebaiknya berlandaskan pada perspektif konstruksionisme itu. Artinya, kehadiran media di rumah kita haruslah dipandang sebagai salah satu informasi saja, bukan sebagai penyedia segala-galanya informasi yang kita butuhkan.
Bahasa dalam Media Massa
Hubungan bahasa dan media erat sekali, keduanya merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Perkembangan bahasa di zaman modern ini banyak sekali ditentukan oleh media massa. Oleh karena itu, bahasa media selalu menarik perhatian para linguis, khususnya linguis terapan dan linguistik kritis, sosiolinguis, dan analis wacana kritis.
Menurut Bell (1995:23) terdapat empat alasan ketertarikan pada bahasa media massa. Pertama, media massa menyediakan sumber data kebahasaan yang dapat diperoleh secara amat mudah untuk tujuan penelitian dan pengajaran. Para pengajar dan pendidik yang kreatif sering menggunakan media massa untuk sumber bahan pengajarannya di depan kelas. Kedua, media massa merupakan institusi linguistik yang penting. Apa saja yang dihasilkan oleh media dalam skala besar itu sangat mudah didengar, dibaca, disimak, dan dinikmati oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Melalui media massa dapat direfleksikan dan dibentuk suatu penggunaan bahasa dan sikap bahasa yang dikehendaki oleh komunitas tutur. Ketiga, bahasa yang digunakan dalam media massa secara linguistik sangat menarik. Karakteristik bahasa media menarik untuk dicermati. Keempat, media massa merupakan institusi sosial yang penting. Media massa merupakan penghadir persoalan-persoalan budaya, ekonomi, politik, dan kehidupan sosial. Wacana media selalu berkait dengan penghadiran fakta “apa saja yang diungkapkan tentang masyarakat” dan pembentukan citra “apa saja yang dapatdisumbangkan pada masyarakat”.
Satu aspek penting dan menarik kekuasaan media dari sudut pandang linguistik adalah cara masyarakat dan peristiwa itu dilaporkan. Terdapat aspek representasi yang membuat hasil pelaporan tiap-tiap surat kabar menjadi berbeda. Saat para wartawan dan redaktur mengambil etos profesional: wartawan mengoleksi fakta, melaporkannya secara objektif, surat kabar kemudi-an menghadirkannya secara terbuka dan tanpa bias dalam bahasa yang dirancang dengan tidak ambigu, tidak terdistorsi, dan dapat dipercaya oleh pembaca, Fowler mengambil posisi yang berseberangan. Fowler (1991:1) secara provokatif merumuskan hakikat isi surat kabar sebagai berikut.
I take the view that the ‘content’ of newspapers is not facts about the world, but in a very general sense ‘ideas’. I will use other terms as appropriate: ‘beliefs’, ‘values’, ‘theories’, ‘propositions’, ‘ideology’. My major concern is with the role of linguistic strukture in the construction of ideas in the press; I will show that language is nor neutral, but a highly constructive mediator.
Mungkin kita menganggap bahwa Fowler itu terlalu provokatif. Redaktur surat kabar bisa saja akan mengambil sikap oposan atau mencaci maki pandangan Fowler tersebut. Akan tetapi, marilah kita berpikir jernih dan kritis terhadap pandangan Fowler tersebut.
Ada baiknya kita mengambil sikap bahwa pandangan Fowler itu adalah sikap kasih sayangnya kepada para penikmat media massa, khususnya media cetakan. Dalam pandangan Fowler, berita itu dikonstruksi secara sosial. Peristiwa apa yang dilaporkan bukanlah sebuah refleksi dari kepentingan peristiwa itu secara instrinsik, tetapi mengungkap operasi dari seperangkat kriteria kriteria seleksi yang kompleks dan artifisial.
Berbagai struktur linguistik dapat menentukan bagaimana peristiwa itu dilaporkan. Dengan demikian, sebuah berita di surat kabar dapat membuat versi atau pandangan yang berbeda terhadap peristiwa yang sama. Dari judul berita, misalnya, kita dapat segera melihat perbedaan dalam cara peristiwa itu diantarkan. Peran struktur linguistik dalam konstruksi ide-ide di surat kabar menunjukkan bahwa bahasa itu tidaklah netral, tetapi merupakan mediator yang amat konstruktif.
Berita itu secara sosial dikonstruksikan. Peristiwa yang dilaporkan bukanlah refleksi dari kepentingan intrinsik berita itu, tetapi lebih mengungkapkan pelaksanaan seperangkat kriteria seleksi yang kompleks dan artifisial. Berita-berita yang sudah diseleksi adalah subjek proses-proses transformasi ketika proses-proses itu dikodekan untuk publikasi. Seleksi dan transformasi itu dibimbing oleh referensi ke arah ide-ide dan kepercayaan tertentu. Bahkan, Fowler menegaskan bahwa berita adalah sebuah praksis, sebuah wacana yang jauh dari refleksi realitas sosial dan fakta empiris yang netral. Dalam berita terjadi campur tangan dalam konstruksi sosial realitas.
Dalam konteks ini ada baiknya kita menengok pandangan Sapir, Whorf, dan Halliday. Mereka berpendapat bahwa ada hubungan kausal antara struktur semantis dan kognisi, artinya bahasa mempengaruhi pikiran. Struktur bahasa menyalurkan pengalaman mental tentang dunia. Pilihan struktur linguistik tertentu akan menyalurkan pengalaman mental tertentu.
Berita adalah representasi dunia dalam bahasa. Karena bahasa adalah kode semiotis, bahasa akan menentukan struktur nilai, sosial, dan ekonomis sebagai sumbernya terhadap apa saja yang direpresentasikan. Berita adalah sebuah representasi dalam pengertian konstruksi. Berita bukanlah refleksi fakta yang “bebas nilai”.
Fowler berpendapat bahwa pilihan terhadap bentuk linguistik tertentu dalam teks—apakah wording, pilihan sintaksis, dan sebagainya—memiliki alasannya masing-masing. Mereka itu selalu berbeda dalam mengatakan sesuatu yang sama, mereka itu tidaklah acak, pilihan itu bukanlah kebetulan. Perbedaan dalam ekspresi membawa perbedaan ideologis.
Wacana Akal Sehat atau Wacana Dominan
Media memiliki peran yang amat besar dalam membentuk apa yang disebut dengan wacana akal sehat atau wacana dominan. Kecenderungan untuk merepresentasikan masyarakat, situasi, dan peristiwa dalam cara-cara yang biasa atau sama yang dapat diprediksi dari kode linguistiknya selanjutkan ditetapkan dalam kebudayaan kita sebagai “cara berbicara” atau “cara menulis” yang amat biasa terhadap ciri-ciri masyarakat atau peristiwa itu. Konsep ini berkenaan dengan apa yang disebut representasi wacana akal sehat atau wacana dominan. Apa yang muncul di koran segera menjadi bahan rujukan oleh para konsumennya. Apa yang menjadi “penting” dalam koran segera menjadi apa yang “penting” dalam kehidupan masyarakat. Apa yang penting dalam koran segera menjadi kerangka representasi perilaku dan cerita selanjutnya.
Kita tentunya masih ingat kasus di Negeri Paman Sam tentang skandal yang menggunakan akhiran gate. Sejak Nixon dan Watergatenya muncul dalam pers, muncullah kisah serupa seperti Irangate, Whitewatergate, Zippergate, dan Fornigate. Di Inggris pernah ramai dengan kasus Dianagate dan Camilagate. Bahkan, istilah serupa muncul juga di Indonesia pada era pemerintahan Presiden Gus Dur dengan Buloggate dan Bruneigate. Wacana yang muncul kemudian itu mengambil secara parsial kata gate dari kasus Watergate. Padahal, kata Watergate adalah satu kesatuan bentukan dari sebuah nama tempat.
Jika kita merujuk kembali kepada pandangan Fowler di atas, sikap fatalistik dalam menerima berita terhadap sebuah sumber berita bukanlah sikap yang bijaksana. Seorang konsumen berita harus mengambil sikap bahwa sebuah surat kabar tertentu adalah salah satu sumber berita, bukan segala-galanya sumber berita. Jika dalam rumah kita setiap hari hadir sebuah surat kabar—misalnya kita berlangganan—kemudian kita menganggap bahwa surat kabar itu adalah satu-satunya sumber berita, kita sebenarnya telah menjebakkan diri dalam sebuah perspektif yang dibangun oleh surat kabar tersebut.
Pada era sekarang, tahun 2004, misalnya, surat kabar telah membentuk wacana dominan berkenaan dengan kasus Akbar, yakni Akbar adalah orang yang bersalah, koruptor, seharusnya dipenjara, mundur dari Ketua DPR, mundur dari Ketua Partai Golkar, dan sebagainya. Wacana dominan itu telah menjadi bahan rujukan kita semua dalam memberikan penilaian terhadap kasus Akbar terlepas dari apakah Akbar Tanjung itu memang melakukan korupsi atau tidak.
Analisis Wacana Kritis sebagai Pisau Bedah
Analisis wacana kritis (AWK) lahir untuk memberikan tambahan—kalau tidak ingin dikatakan tandingan—keberadaan analisis wacana yang lebih dahulu lahir yang lebih banyak bersifat deskriptif. Beberapa tokoh linguistik kritis, seperti Fowler (1985, 1986, 1996), Fairclough (1985, 1989, 1995), Kress (1985), Sykes (1985), van Dijk (1985), West & Zimmerman (1985), Birch (1986), dan Wodak (1996) memandang bahwa fenomena komunikasi dan interaksi yang “nyata” lebih banyak diwarnai oleh adanya fenomena-fenomena “ketidakteraturan”, “kesenjangan”, “ketidakseimbangan”, “perekayasaan”, dan “ketidaknetralan” dari isu-isu ketidakadilan dalam gender, politik, ras, media massa, kekuasaan, dan komunikasi lintas budaya. Wacana yang lahir lebih banyak berkutat dengan persoalan sosial politik dan jauh meninggalkan wacana-wacana akademis yang “ideal”.
Untuk menggali berbagai persoalan penggunaan bahasa yang realistik, Fowler menyarankan pemanfaatan linguistik kritis. Kata “kritis” dapat dimaknai sebagai ‘evaluasi negatif’, mesipun kenegatifan itu tidak perlu menjadi tujuan linguistik kritis. Linguistik kritis adalah sebuah penyelidikan ke dalam relasi antara tanda, makna, dan kondisi sosial historis yang mengatur struktur semiotik sebuah wacana dengan menggunakan jenis analisis linguistik tertentu. Untuk kepentingan linguistik kritis, linguistik fungsional-sistemik Halliday menyediakan banyak informasi untuk analisis.
Berkenaan dengan wacana yang dihasilkan oleh “komunikasi yang timpang” di atas, sejalan dengan pandangan Fowler, van Dijk menyarankan penggunaan paradigma yang relevan yakni paradigma kritis. Analisis wacana kritis—salah satu wujud paradigma kritis itu—banyak digunakan dalam menjelas-kan fenomena-fenomena tersebut. Paradigma kritis—oposisi dari paradigma deskriptif--dibangun dari asumsi bahwa fenomena bahasa dalam komunikasi bukanlah fenomena yang netral yang bebas dari persoalan kekuasaan dan ideologi. Paradigma deskriptif dalam kajian linguistik terhalang saat menjelaskan isu-isu ideologi dan politik yang sering amat kabur.
Birch (1996) berpendapat bahwa linguis kritis percaya bahwa pilihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala-kendala politis, sosial, kultural, dan ideologi. Implikasinya adalah bahwa masyarakat dapat dimanipulasi, ditahan dalam aturan yang baik yang dikehendaki, dan dinilai peran dan statusnya ke dalam dikotomi atasan-bawahan melalui sistem strategi sosial yang melibatkan aspek-aspek kekuasaan, aturan, subordinasi, solidaritas, kohesi, antagonisme, kesenangan, dan sebagainya yang semuanya merupakan bagian integral dari sistem kontrol masyarakat.
Menurut van Dijk (1985) fitur-fitur wacana hanyalah menjadi gejala (symptoms) dari persoalan-persoalan yang lebih besar, seperti ketidakadilan, perbedaan kelas, gender, rasisme, kekuasaan, dan dominasi yang melibatkan lebih dari sekedar teks dan tuturan. Dengan demikian, pilihan bentuk aktif-pasif dalam judul berita, misalnya, akan memberikan pelbagai hal berkenaan dengan dimensi tersembunyi yang ingin diperjuangkan oleh redaktur media massa. Dalam praktiknya, analisis wacana kritis bekerja melalui tiga tahapan analisis yang bersifat simultan, yakni (1) analisis teks bahasa, (2) analisis praksis wacana, dan (3) analisis praksis sosiokultural. Hasilnya adalah ditemukannya dimensi tersembunyi dari penggunaan bahasa yang di dalamnya penuh muatan kekuasaan, ideologi, dan perpektivitas.
Wacana media massa, misalnya, yang sering menjadi tirani kognitif dapat kita selami. Kita semakin sadar bahwa fungsi ideologis utama dari pesan media itu sering tidak terletak pada struktur lahir pernyataan-pernyataan yang bersifat propagandistik, tetapi justru—mengutip Sholle--in the use of distorted language (Latif & Ibrahim, 1997:147).
Surat Kabar dan Perpektivitas
Bahasa menduduki peran sentral bagi media dalam mengkonstruksi para pembaca/pendengarnya. Ambillah contoh dua buah judul berita dari sebuah berita yang sama. Ketika Gus Dur dan Wiranto berkunjung ke Kiai Abdullah Faqih, muncul pemberitaan dengan judul yang tidak sama: Kompas membuat judul “Wiranto bersama Gus Dur Menemui Kiai Abdullah Faqih”. Sementara itu Jawa Pos mengambil judul “Gus Dur Gandeng Wiranto ke Kiai Faqih: Satu Mobil Saat Perjalanan Surabaya-Tuban”. Ketika Mahkamah Agung membebaskan Akbar Tanjung dari segala tuntutan, dua surat kabar memberitakan: Jawa Pos membuat judul “Akbar Senang, 49 Mahasiswa Luka”, sedangkan Republika melaporkannya dalam dua berita dengan judul “Akbar Bebas” dan “Bentrok dengan Aparat, 73 Mahasiswa Luka”.
Kita tentunya dapat melihat perbedaannya dari (1) pilihan kata-kata dalam judul, (2) pilihan verba dalam tubuh berita, (3) pilihan representasinya, dan (4) atribusi dari sumber informasi. Hasil analisis kita akan menghasilkan sebuah perspektivitas yang diambil kedua surat kabar itu terhadap berita Gus Dur-Wiranto atau Wiranto-Gus Dur, termasuk juga dalam kasus Akbar Tanjung.
Dalam berita Gur Dur-Wiranto, Kompas lebih menonjolkan atau mengutamakan peran Wiranto meskipun dari kata-kata “Wiranto bersama Gus Dur” terkesan adanya kebersamaan atau mempunyai kepentingan yang sama. Sementara itu, Jawa Pos lebih menonjolkan Gus Dur. Dari kata-kata “Gus Dur Gandeng Wiranto…” terkesan bahwa Gus Dur yang mempunyai kepentingan mengajak Wiranto.
Dalam berita pembebasan Akbar Tanjung, Jawa Pos mengemas dua peristiwa yang sebenarnya tidak berada pada lokasi yang sama dengan satu judul berita. Judul “Akbar Senang, 49 Mahasiswa Luka” menimbulkan adanya kesan arogansi Akbar terhadap mahasiswa yang luka. Meskipun dalam judul terdapat tanda baca koma, judul itu tetap memberi kesan adanya hubungan sebab akibat dari “49 mahasiswa luka” dan “Akbar senang”. Dari analisis ini, kita tentunya dapat mengambil kesimpulan tentang posisi Jawa Pos dalam kasus Akbar ini. Sementara itu, Republika menyajikan dua peristiwa dari dua lokasi yang berbeda ke dalam dua judul berita. Yang pertama, berita tentang bebasnya Akbar yang disambut suka cita para pendukung dan keluarganya. Yang kedua, berita tentang mahasiswa yang memprotes keputusan Mahkamah Agung untuk membebaskan Akbar. Dari analisis ini, kita tentunya juga mengetahui posisi yang diambil Republika dalam kasus Akbar.
Dua contoh di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa surat kabar telah membentuk perspektivitas tertentu. Sementara itu, bagi pembacanya, perspektivitas itu secara bawah sadar atau bahkan tidak sadar diterima begitu saja tanpa sikap kritis. Dalam analisis perspektivitas, peran analisis wacana kritis sebagai pisau bedah menjadi sebuah kebutuhan yang tidak begitu mudah untuk dikesampingkan.
Daftar Rujukan
Bell, A. 1995. Language and the Media. Dalam Grabe, W. (Ed.), Annual Review of Applied Linguistics Volume 15: Survey of the Field of Applied Lingu-istics. Cambridge: Cambridge University Press.
Birch, D. 1996. Critical Linguistics as Cultural Process. Dalam James, J.E. (Ed.), The Language-Culture Connection. Singapore: SEAMEO Regional Language Centre.
Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: Penerbit LkiS.
Fairclough, Norman. 1985. Critical and Descriptive in Discourse Analysis. Jo-urnal of Pragmatics, 9: halaman 739—763.
Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. New York: Longman Group UK Limited.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Harlow-Essex: Longman Group Limited.
Fowler, Roger. 1985. Power. Dalam van Dijk (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hal. 61—82). London: Academic Press.
Fowler, Roger. 1986. Linguistic Criticism. Oxford: Oxford University Press.
Fowler, Roger. 1991. Language in the News: Discourse and Ideology in the Press. London & New York: Routledge.
Fowler, Roger. 1996. On Critical Linguistics. Dalam Caldas-Coulthard, C.R. & Coulthard, M. (Eds.), Texts and Practices: Reading in Critical Discourse Analysis (hal. 3—14). London: Routledge.
Ibrahim, Idi Subandy & Malik, Dedy Djamaluddin (Eds.).1997. Hegemoni Budaya. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Kress, G. 1985. Ideological Structures in Discourse. Dalam van Dijk, T.A. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society. London: Academic Press.
Latif, Yudi & Ibrahim, Idy Subandy. 1997. Media Massa dan Pemiskinan Ima-jinasi Sosial. Dalam Ibrahim, Idy Subandy & Malik, Dedy Djamaluddin (Eds.), Hegemoni Budaya. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Rakhmat, Jalaluddin. 1997. TV sudah Menjadi The First God. Dalam Ibrahim, Idi Subandy & Malik, Dedy Djamaluddin (Eds.), Hegemoni Budaya. Yog-yakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Era Pasca Orde Baru. Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra.
Sykes, M. 1995. Discrimination in Discourse. Dalam van Dijk, T.A. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in So-ciety. London: Academic Press.
Tester, Keith. 2003. Media, Budaya, dan Moralitas. Terjemahan oleh Muham-mad Syukri. Yogyakarta: Juxtapose.
Thornborrow, Joanna. 1999. Language and the Media. Dalam Thomas, Linda & Wareing, Shan (Eds.), Language, Society, and Power: An Introduction. London & New York: Routledge.
Van Dijk, T.A. 1985. Introduction: The Role of Discourse Analysis in Society. Dalam van Dijk, T.A. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society. London: Academic Press.
West, C. & Zimmerman, D.H. 1985. Gender, Language and Discourse. Dalam van Dijk, T.A. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Dis-course Analysis in Society. London: Academic Press.
Wodak, R. 1996. Disorders of Discourse. Harlow-Essex: Addison Wesley Longman Limited.
[1] Dr. Anang Santoso adalah dosen Jurusan Sastra